Bersaudara dengan Empati
Pada dasarnya anak-anak punya sifat
egosentrisme yang tinggi. Biasanya sifat ini ditunjukkan dengan mementingkan
dan fokus pada diri sendiri, tanpa berusaha memperhatikan kepentingan orang
lain. ”Mau menang sendiri” saat berinteraksi sehari-hari dengan kakak, adik,
atau kawan, adalah gejala
umum yang sering terlihat. Kewajiban
orang tua dan guru untuk membantu anak mengikis sifat ini dari dirinya dan
secara perlahan menggantikannya
dengan sifat yang lebih mulia : empati.
Secara sederhana empati dimaknakan sebagai
kemampuan untuk memandang suatu masalah dari sudut padat orang lain.
Seseorang yang mampu mengenali,
mempersepsi, dan merasakan perasaan orang lain berarti memiliki empati. Ia merasa menjadi
bagian dari orang lain itu. Apa yang difikirkan dan dirasakan orang lain itu merupakan bagian dari dirinya.
”Indonesia adalah bagian dari diri saya,” kata Barack Obama dalam pidatonya di
UI, ketika berusaha meyakinkan publik bahwa ia berempati dengan berbagai
persoalan yang sedang merundung negeri ini. Tentu tak ada sama sekali rasa
empati ketika seorang elit politik berkata menanggapi jatuhnya banyak korban
saat gempa dan tsunami Mentawai : ”Kalau tidak mau kena tsunami, jangan tinggal
di pinggir pantai.” Ia sama sekali tidak memposisikan diri sebagai korban. Tetapi
sebagai pengamat yang memandang dari kejauhan. Persis seperti sekelompok
orang yang hanyut dalam hingar
bingar pesta menyambut tahun baru yang mubazir, ketika korban beragam bencana
belum lagi pulih kondisinya. Bersuka ria saat orang lain dirundung kesusahan adalah
bentuk dari tiadanya empati dalam
diri.
Sedikit demi sedikit, anak-anak perlu
diajar dan dilatih untuk mengasah sifat empatinya. Berbagai pelajaran ringan
dapat diberikan untuk membuat mereka menjadi lebih peka. ”Nak, coba bayangkan, bagaimana
rasanya kalau kita ngungsinya di barak pengungsian, seperti ribuan pengungsi
itu,” kata saya pada Azzam, Zulfa dan Nuha, 3 anak saya, ketika harus
mengungsi karena letusan Merapi, November lalu. Rumah kami memang berada di
kawasan 20 kilometer dari puncak Merapi yang harus dikosongkan. Beruntung, kami
masih bisa mengungsi ke rumah saudara. "Kita ngungsinya dapat yang kelas
VIP," kata Zulfa sambil terkekeh. Setelah Musibah Merapi mereda, saya
menyempatkan mengajak mereka berkunjung ke barak pengungsian, dan juga naik ke
daerah yang sangat dekat dengan kediaman Mbah Marijan di Kinahrejo di lereng
Merapi. Menyaksikan rumah-rumah yang rata dengan tanah, membayangkan perasaan
mereka yang selamat, tetapi harus kehilangan sanak keluarga, harta benda dan
tempat berteduh. "Seperti di Mentawai ya.. Abi," kata Nuha, si bungsu
dengan tatapan teduhnya.
Selayaknya
anak diajak menyadari arti penting persaudaraan sejati. Persaudaraan yang
dibangun oleh empati. Kakak, adik, teman sepermainan, atau siapa saja adalah
saudara mereka yang harus diberi hak sebagai saudara. Senang ketika saudara
merasa senang, dan ikut merasakan ketika suatu saat saudaranya itu menghadapi
kesusahan. Bukan sebaliknya, senang ketika saudara merasa susah. Sekedar ikut
merasa menghadapi masalah seperti yang dirasakan kawan baiknya, adalah contoh
wujud empati itu.
Ada
rasa yang tak tergantikan dengan kata, ketika pulang sekolah di tengah guyuran
hujan lebat, Azzam, sulung saya berkata :"Abi, bolehkah temanku itu ikut
kita, Bapak Ibunya naik haji, yang njemput ndak tahu, kalau pulangnya lebih
awal, kalau boleh, kita antar dia pulang..." Ehm...berbunga-bunga rasanya hati, ketika
anak mau ikut merasakan masalah yang dihadapi temannya, dan mencoba menjadi bagian
dari solusi. Jika anak-anak yang manis itu pulang sekolah, saya memang jarang
bertanya "Bagaimana pelajarannya di sekolah ?", tetapi kerap saya ganti dengan pertanyaan
:"Tadi di sekolah, berbuat baik apa sama teman-teman dan pak-bu guru?"
Mereka pun akan antusias berkisah.
Menumbuhkan
sifat empati pada anak, juga bisa dilakukan dengan mengubah gaya komunikasi
kita pada mereka. Jika seringkali komunikasi bernada instruktif atau selalu
menyalahkan, maka susah untuk berharap munculnya empati. Ketika anak
kebingungan mencari penghapus atau pensilnya yang hilang saat semua anggota
keluarga sedang sibuk-sibuknya bersiap-siap di pagi hari, ada baiknya
komunikasi empatis yang dicontohkan. Kalimat seperti : "Wah mesti adik
bingung ya.., sebentar ya.. Kita cari bareng-bareng," akan lebih dihargai
anak, dibanding meluncur kata-kata : "Sudah seratus kali ibu bilang, kalau
pensil dan penghapus itu taruh di tempatnya, yang bener, jangan sembarangan
!". Kalimat terakhir ini, sama sekali tidak menunjukkan empati. Ketika
suatu kali anak berkelahi dengan temannya, bahkan mungkin sampai adu fisik, tak
ada salahnya kita katakan padanya : "Ayah bisa merasakan kekesalanmu,
sampai harus berkelahi dengan temanmu itu.. Tapi kasihan ya dia. Mesti dia malu
banget, sampai nangis segala, pasti juga sakit juga kan..." Anak-anak pelan-pelan harus diajarkan agar
tak merasa senang jika kawannya merasa susah atau sakit. "Rasain lu...
Kapok kamu...!," adalah kata-katanya yang sebaiknya tidak akrab di mulut
anak-anak kita, ketika sedang bermasalah dengan kawannya. Empati yang diungkapkan
dengan kata-kata sudah terasa seperti guyuran air kulkas di siang yang terik.
Apalagi kemudian berlanjut dengan perbuatan. Keterampilan anak untuk menjalin
komunikasi dengan penuh empati, akan membuatnya mudah diterima dan disukai
kawan-kawannya.
Saatnya memandu anak-anak kita agar lebih peka
dalam bersaudara dengan sekelilingnya. Untuk itu, tentu contoh kongkrit yang
dibutuhkan. Berempati dengan menjadi bagian dari diri anak, adalah kuncinya.
Jika mereka tumbuh dalam suasana penuh empati di rumah, maka tunggulah kabar
gembira, bahwa mereka telah menebar kebaikan dan kedamaian di sekitarnya,
dengan kata-kata dan sikap empatisnya dalam persaudaraan yang menyejukkan.
Alangkah indahnya.... !DR. Subhan Afifi, M.Si. Dosen UPN Veteran Yogyakarta
sumber gambar : achsanulqosasi.blogspot.com
Post a Comment