Cermat Memilih kata
Seorang
anak tampak berdiri tenang di depan kasir sebuah toko. Pandangan matanya nampak
polos dan begitu lugu. “Kak, boleh saya membayar dengan uang receh ini,”
ucapnya sembari menunjukkan sebuah tas kresek berisi kumpulan uang receh yang
entah berapa jumlahnya. Di sampingnya, adiknya terlihat memeluk erat tas
sekolah yang dipilihnya beberapa saat yang lalu.
Sang
kasir tercekat sejenak. Sepertinya dia sedang memikirkan jawaban apa yang ingin
disampaikannya pada anak tersebut. Mungkin banyak jawaban yang terlintas di
dalam pikirannya. Jika mau cepat, mungkin dia akan menjawab, “Ya, tidak
apa-apa, boleh kok,” atau ,”Hmm……, gitu ya? ya tidak apa-apa sih, walau nanti agak susah
ngitungnya,” Sebuah jawaban yang membolehkan namun dengan aksen terpaksa.
Namun
jawaban dari sang kasir boleh dibilang luar biasa. “Oh,
kebetulan Dik, kakak baru butuh banyak uang receh buat kembalian, makasih ya…,” ujarnya dengan penuh senyum kasih sayang.
kebetulan Dik, kakak baru butuh banyak uang receh buat kembalian, makasih ya…,” ujarnya dengan penuh senyum kasih sayang.
“Tuh kan, apa kakak bilang, gak apa-apa kan bayar pakai uang receh,”
ucap anak tersebut pada adiknya. Kasir tersebut tersenyum menikmati pemandangan
ceria itu. Sambil menghitung dengan cermat uang receh yang dibayar si anak,
tangannya sesekali menutupi laci berisi ratusan uang receh yang baru beberapa
saat yang lalu dia tukarkan di bank. Sebelum meninggalkan toko, anak tersebut
sempat bercerita bahwa uang receh tersebut didapatkannya dari hasil memecahkan celengan
untuk membelikan hadiah kenaikan kelas bagi adiknya.
Salah
satu hal yang membedakan orang dewasa dengan anak-anak adalah kemampuan
berpikir sebelum bertindak dan berbicara. Kata-kata ibarat pedang, jika kita
mampu menjaganya dengan baik, maka pedang itu tidak akan melukai orang lain.
Namun jika tidak cermat dalam memilih kata, bukan tidak mungkin maksud yang
baik akan berubah menjadi kehancuran, seperti rasa rendah diri, malu, putus asa dan sebagainya.
karena itu, sebagai orangtua, tentu kita harus mampu memilih dan memilah dengan
cermat perkataan apa yang hendak kita utarakan pada anak, baik anak sendiri,
maupun anak orang lain.
Cermat dalam arti mengerti dengan baik bahwa kita hanya
boleh berbicara yang memiliki kandungan manfaat, ilmu, atau nasehat, serta yang
bisa menjernihkan sebuah permasalahan. Sekiranya kita tidak mengerti apa yang
harus kita ucapkan sebaiknya berpikirlah lebih dulu, sebelum memutuskan untuk
ikut berbicara.
Terkadang,
lisan kita begitu lancarnya meluncurkan kata-kata yang mungkin sudah lumrah
diucapkan, namun sejatinya sangat berpotensi menghancurkan kepercayaan diri dan
harga diri anak. Ketika anak seorang adik prestasinya jauh di bawah sang kakak,
lalu kita dengan enak mengatakan,”Lihat tuh kakakmu, masa’ kalah?” atau ketika
nilai pelajaran IPA si anak tidak sesuai harapan, orangtua dengan enteng
berkata,”Cuma IPA saja masa’ tidak bisa?” Sungguh komentar yang sangat
melecehkan kerja keras anak.
Kalimat-kalimat
seperti, “Anak saya ini memang kalah
dibanding teman sepermainannya,”, “Kamu kok makin kurus saja,”, “Masa’ ke kamar
mandi saja tidak berani?” dan sejenisnya sepertinya sangat lazim namun sangat
ampuh untuk mematikan potensi dan kepercayaan diri anak. Bahkan tidak nyaman
pula rasanya jika kalimat tersebut ditujukan kepada orang dewasa.
Bertepatan
dengan cermat dalam memilih kata ini, ada sebuah hadits yang sangat masyhur. “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir,
hendaklah dia berbicara yang baik atau diam” (HR. Bukhari). Mari kita
belajar menjadi orangtua yang mampu berpikir sejenak sebelum berucap. Mampu
berbicara yang baik atau diam, agar tidak ada air mata keruntuhan rasa percaya
diri dari anak kita. Wallahu ‘alam
bishowab.||
Muhammad Abdurrahman,
Pemerhati dunia anak, tinggal di Yogya
Post a Comment