Generasi itu Tak Boleh Hilang






Subhan Afifi,

Seorang sahabat yang jadi trainer dan motivator nasional pernah merasa tertampar, di suatu siang yang panas. Bersama sahabat lain yang kini telah almarhum, ia berada dalam mobil yang harus berhenti di perempatan jalan karena lampu menyala merah. “Koran Pak?” kata seorang anak usia SD, mengetuk jendela mobil. “Nggak Dik..kami sudah langganan di sekolah,” kata salah seorang dari mereka.
Anak penjual koran itu pun berlalu. Merasa iba, sahabat tadi mengambil uang logam Rp 500, dan memanggil si anak. “Ini dik, buat kamu.,” katanya. Ternyata jawaban anak itu di luar dugaan : Mboten Pak…Kulo sanes pengemis. Kulo namung dodolan koran. Nek mboten tumbas, nggih mboten menopo-menopo. Nek bade maringi, paringi rencang-rencang kulo meniko mawon…”
Anak itu menjawab dengan bahasa Jawa yang kira-kira artinya : Tidak usah pak, saya bukan pengemis. Saya Cuma jualan Koran. Kalau nggak beli, nggak apa-apa. Kalau mau memberi, kasih saja kawan-kawan saya yang di sana itu (sambil menunjuk ke arah beberapa pengemis cilik di seberang jalan).
Dan sang trainer serta sahabatnya itu tertegun. Inilah generasi langka yang mulai susah dicari. Seorang yang ingin menunjukkan kehormatan diri, di tengah keterbatasan yang menghimpit, dalam sistem sosial yang mematut-matutkan diri untuk dikasihani. Tak mudah menemukan seseorang yang masih bertahan dengan sikap positif, di tengah arus budaya negatif yang mendominasi.
Kehormatan diri yang terjaga, kejujuran yang tak lekang oleh segala kondisi, sopan santun dan budi pekerti yang mempesona, etos kerja keras yang menguat disertai rasa tanggung jawab, dan sederet nilai-nilai kebaikan lainnya, seolah semakin jauh dari  keseharian.
Sebaliknya, yang ada justru nilai-nilai keburukan yang semakin merebak tanpa malu-malu. Kekerasan dan pergaulan bebas jadi tontonan lumrah. Ketidakjujuran dilakukan secara berjama’ah. Rasa hormat kepada orang tua semakin melemah. Sopan santun tak lagi terjamah. Perilaku merusak diri, semakin mewabah. Maka, inilah ketakutan itu. Bahwa generasi yang mengusung nilai-nilai kebaikan semakin hilang dari peredaran. Jika nilai-nilai moralitas tak lagi jadi panduan, jangankan sebuah bangsa, suatu peradaban pun bisa ambruk karenanya.
Suatu generasi memang datang dan hilang, silih berganti. Satu peradaban tumbuh, yang lain menanti untuk runtuh. Ternyata, para ahli sejarah bersepakat bahwa runtuhnya sebuah peradaban disebabkan oleh kegagalan masyarakatnya untuk mewariskan nilai-nilai kebaikan pada generasi penerusnya. “Transmiting values is the work of civilization,” tulis Lance Morrow. Mengajarkan nilai-nilai kebaikan adalah kerja sebuah peradaban.   
Karakter menjadi kata kuncinya. Apakah sebuah generasi, sebagai bagian dari suatu peradaban akan punah, digilas sejarah, atau tetap eksis berkontribusi menebar kebaikan. Maka, pendidikan karakter menjadi agenda penting yang harus diperjuangkan. Bukan sekedar slogan atau wacana tanpa realisasi.
     Pendidikan karakter harus diarahkan pada aplikasi nilai-nilai keshalihan dalam keseharian. Bukan sekedar “pengajaran” tentang baik buruk. Tetapi mengarah pada pembiasaan, dengan pemahaman dan penghayatan, yang akan mengkristal menjadi karakter.  Sudah saatnya, sekolah-sekolah kita dideklarasikan menjadi “Sekolah Karakter”. Dengan sebelumnya menancapkan niat menjadikan rumah-rumah kita, sebagai “Rumah Karakter”.  Lingkungan dan masyarakat pun perlu terus berbenah menjadi model “Masyarakat Karakter”. Semuanya harus bekerjasama mewujudkan pendidikan karakter dalam tataran aplikatif, bukan sekedar sekedar teori      
Jika generasi dengan nilai-nilai kebaikan itu tak kita inginkan hilang dari peredaran, maka pastikan karakter menjadi prioritas pendidikan mereka.
Powered by Blogger.
close