Karakter itu Bagian dari Akhlaq Mulia






Ada yang harus dicermati pada pendidikan karakter dalam keluarga dan sekolah, khususnya dari perspektif Islam. Kita tentu bersepakat bahwa pendidikan karakter itu penting. Tetapi, harus diakui, pendidikan karakter itu belum cukup untuk melahirkan generasi tangguh nan sholeh-sholehah yang diridhoi Allah Ta’ala. Kalau ingin lengkap, akhlaq mulia-lah yang mencukupinya. 
Pendidikan Karakter sering difahami sebagai  pendidikan nilai, budi pekerti, moral, dan watak untuk menentukan persoalan baik-buruk, serta mengimplementasikan nilai-nilai kebaikan dalam keseharian dengan sepenuh hati. Persoalannya, apa yang mendorong nilai-nilai kebaikan itu dilakukan? Sekedar nilai-nilai humanisme universal yang “sudah selayaknya begitu” ?  Atau sekedar digerakkan oleh anggapan bahwa kemuliaan manusia itu ditentukan oleh pengakuan oleh manusia lain? Kalau seseorang ingin diakui sebagai orang baik di mata manusia lain,
maka berbuat baiklah! Tentu motivasi seperti ini, tak akan memiliki makna yang hakiki.
Dorongan yang paling paripurna dari perbuatan baik atau meninggalkan yang buruk adalah dorongan mencapai ridha Allah Ta’ala dan berkaitan dengan hari akhir (yaumuddin). Pelakunya, memasukkan faktor Allah Yang Maha Berkuasa di dalam setiap perbuatannya itu. Bahwa ada harapan (dan juga kekhawatiran) dari pembalasan sekecil apapun yang dilakukan pada Hari Pengadilan yang Sesungguhnya kelak. Inilah yang menjadi esensi pelajaran tentang akhlaq dalam Islam yang mulia.
Akhlak mulia muncul dari keyakinan (i’tiqod). Akhlaq mulia bermula dari amalan batin yang pada akhirnya akan memunculkan “adab”, perbuatan lahir yang tampak dalam keseharian. Al Hafidz Ibnu Hajar, seperti dikutip Dr Muhammad Nur Abdul Hafidz Suwaid (2010), mendefinisikan adab sebagai “melakukan sesuatu yang terpuji, baik perkataan maupun perbuatan”. Mengerjakan sesuatu yang dianggap baik, adalah esensi adab. Nabi Shallallahu ‘alayhi wa Sallam sangat mementingkan masalah adab ini. “Muliakanlah anak-anak kalian dan ajarkanlah kepada mereka adab yang baik,” sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Abbas radhyallahu ‘anhuma.
Adab ini jelas memiliki keterkaitan dengan Allah Ta’ala dan Hari Akhir. Simaklah nasihat Al-Mawardi dalam Nashihatul Muluk berikut ini : “Dari Adab yang baik diperoleh pikiran yang terbuka. Dari pikiran yang terbuka dihasilkan kebiasaan yang baik dan tabiat yang terpuji. Dari tabiat yang terpuji diperoleh amal shaleh. Dari amal shalih diperoleh keridhaan Allah. Dari keridhaan Allah diperoleh kerajaan abadi. Sebaliknya, dari adab yang buruk diperoleh pikiran yang rusak. Dari pikiran yang rusak diperoleh kebiasaan yang buruk. Dari kebiasaan yang buruk diperoleh tabiat yang tercela. Dari tabiat yang tercela diperoleh amal yang buruk. Dari amal buruk diperoleh murka dan marah Allah. Dari murka dan marah Allah diperoleh kehinaan abadi…”
Inilah yang membedakan “sekedar” karakter dalam pemahaman para ahli pendidikan Barat, dengan Akhlak Mulia dalam perspektif Islam. Maka, karakter yang sekarang sedang didengang-dengungkan, sebenarnya hanya bagian dari Akhlaq Mulia yang telah jauh-jauh hari dicanangkan Rasul sebagai salah satu misi kenabian. Bukankah Rasulloh  Shallallahu ‘alaihi wa Sallam diutus untuk menyempurnakan akhlaq?
Saatnya kita mendorong anak-anak kita untuk memahami, berlatih, membiasakan diri, menginginkan dan mencintai kebaikan, karena keyakinan pada Allah Ta’ala dan Hari Akhir. Keyakinan itu harus terus kita pompakan dalam jiwa mereka. Keyakinan yang kokoh bahwa berbuat baik bukan sekedar “kewajiban manusiawi” untuk menjalani kebaikan baik dan menghindari perbuatan buruk. Tujuannya bukan sekedar memperoleh pengakuan atau menjauhi sanksi sosial, tetapi lebih jauh dan hakiki dari itu semua. Berbuat baik dalam balutan akhlaq yang mulia, akan membawa pada kecintaan Allah Ta’ala. Cinta yang mendatangkan rahmat-Nya, dan pada akhirnya kelak, membawa pelakunya ke Surga. InsyaAllah…||
DR Subhan Afifi, M. Si
Powered by Blogger.
close