Membangun Mental Juara



Akhir-akhir ini sering diberitakan melalui berbagai media elektronik lokal maupun nasional bahkan internasional, adanya kerapuhan pribadi anak yang menyebabkan mereka cepat berputus asa, sehingga mengambil jalan pintas. Tentu saja hal ini mengusik nurani setiap pendidik, baik guru maupun orangtua, untuk segera membentengi putra putrinya agar mereka tidak melakukan tindakan nekat tanpa perhitungan atau bahkan tindakan bunuh diri sebagai wujud keputusasaannya. Nah… bagaimana membangun mental juara pada anak?
Membangun mental juara berarti menempa anak supaya lebih tangguh menghadapi segala tantangan. Hal ini sangat penting, agar ia siap menghadapi tantangan dan menjadi anak yang mandiri, percaya diri, tidak cepat putus asa, serta menjadi sosok pribadi yang terbiasa untuk memecahkan masalah. Bermental  juara tidak berarti merujuk pada anak yang memenangkan kompetisi tertentu atau sebuah ambisi untuk selalu menjadi juara kelas. Anak bisa dikatakan juara saat dia berhasil melakukan apa yang seharusnya dia lakukan, termasuk tetap bersikap menang/juara meskipun ia dalam keadaan kalah.
Beberapa cara yang dapat dilakukan pendidik/orangtua dalam membangun mental juara antara lain dengan tidak selalu membantu anak, tidak selalu menganggap anak masih kecil. Pendidik/orangtua  perlu menyadari kapan anak perlu dibantu dan kapan anak bisa dilepas untuk menyelesaikan masalahnya sendiri, menanamkan motivasi dari dalam diri anak untuk melakukan segala sesuatu dengan kemampuan terbaik yang ia miliki, selalu menghargai proses daripada hasil. Bahkan menghadapi kekalahan pun merupakan salah satu sarana membentuk mental juara, jika dihadapi dengan cara yang tepat.

Latih Mental Juara Sejak Dini
Mental juara dapat dibentuk dan dilatih sejak kecil, terutama pada saat anak mulai berinteraksi dengan dunia sekitarnya. Menurut teori Erickson, tahun-tahun pertama merupakan tahun pembentukan dasar kepribadian anak, dalam hal ini lingkungan sosial amat berpengaruh.
Awal kehidupan anak, sekitar usia 0-12 bulan, ditandai dengan adanya trust dan mistrust. Trust atau rasa percaya menunjukkan adanya perasaan kenyamanan fisik dan psikis. Trust di masa kanak-kanak membentuk harapan dalam kehidupan bahwa dunia ini merupakan tempat yang nyaman. Jika anak tidak merasa nyaman dengan lingkungannya maka yang berkembang adalah rasa mistrust. Anak kurang bisa mempercayai orang-orang sekitarnya, dan tidak merasa nyaman/bahagia.
Selanjutnya pada usia 1-3 tahun ditandai dengan autonomy dan shame and doubt. Pada masa ini anak mulai menemukan dan mengembangkan tingkah lakunya. Jika anak diberi kesempatan untuk mencoba maka akan muncul autonomy, tetapi kalau anak banyak diarahkan, dilarang atau “jangan ini jangan itu” maka akan menjadi anak yang pemalu dan ragu-ragu. Pada usia ini cukup ideal untuk melepas anak memecahkan masalahnya sendiri, yang merupakan salah satu cara membentuk mental juara.
Pada masa anak-anak awal yaitu usia 3-5 tahun ditandai dengan initiative dan guilt. Masa ini muncul diusia prasekolah, di mana kehidupan sosial anak sudah lebih berkembang. “saat anak mulai aktif, banyak perilaku perlu dikembangkan agar anak bisa mengatasi atau beradapatasi dengan lingkungannya. Anak belajar untuk bertanggung jawab atas berbagai hal, menjaga milik mereka. Berkembangnya rasa tanggungjawab akan menanamkan rasa inisiatif pada diri anak. Sebaliknya akan muncul anak yang memiliki rasa bersalah dan cemas dikarenakan tidak memiliki rasa tanggungjawab dan tidak diberi kesempatan untuk mandiri.
Ada beberapa hal yang penting untuk diwaspadai, antara lain: tidak bersikap menyalahkan anak, bila suatu saat ia mengalami kegagalan, tidak pula memberikan pujian yang berlebihan manakala anak mengalami keberhasilan, pujian dan evaluasi hendaklah dilakukan secara proporsional, namun sikap menghargai proses akan lebih memiliki dampak bagi pembentukan sikap anak untuk bermental juara. Biasanya, anak yang menghargai dirinya sendiri berdasarkan proses, akan menghargai orang lain.
Sebagai catatan akhir, bahwa setiap anak mampu menjadi juara! Hal ini harus disadari oleh setiap pendidik dan orangtua. Tapi juara juga tidak dicetak dengan mudahnya, butuh usaha dan proses. Sebagaimana resep menjadi juara yang dituliskan oleh Prof Yohanes Surya, Ph.D dalam sebuah buku berjudul An Aspirational Book: Mestakung (Semesta Mendukung) yang beliau adaptasi dari konsep sederhana fisika, bahwa ketika sesuatu berada dalam kondisi kritis maka setiap partikel disekelilingnya bekerja serentak untuk mencapai titik ideal.
Mental juara dapat dibentuk sejak usia dini. Siapapun dapat melakukan hal ini, meskipun orangtua yang pernah mengalami kegagalan, hanya saja diperlukan sikap optimis dan kemauan keras untuk berubah dan mengubah keadaan yang ada menjadi lebih baik. Dengan filosofi DUIT (do’a, usaha, ikhtiar dan tawakal) mari kita bangun generasi mendatang menjadi generasi yang bermental juara. || Umi Faizah, S.Ag., M.Pd, Ketua STPI Bina Insan Mulia Yogyakarta, mahasiswa S3 PEP Universitas Negeri Yogyakarta.
Powered by Blogger.
close