Memberi Rasa Aman di Setiap Kesempatan



 
Qrang yang suka mengganggu orang lain, menurut Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,   bisa disebut tidak beriman. Atau lebih tepatnya kurang sempurna imannya. Jadi, yang suka ribut dengan tetangga, berbuat onar di masyarakat, dan sejenisnya, bisa dipertanyakan kualitas imannya. Jangan sampai merasa sudah shalat lantas mengaku imannya sempurna, sementara tingkah lakunya masih sering membuat tidak aman orang lain.
Suatu ketika , Rasulullah bersabda: Demi Allah, dia tidak beriman!” Pernyataan itu diulanginya sampai tiga kali. Seorang sahabat nabi bertanya,”Siapa dia ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Orang yang tetangganya tidak aman dari keburukannya.” Demikian diungkap dalam Hadits Riwayat Bukhari.
Kita prihatin, masih banyak orang tua yang belum sepenuhnya memberi rasa aman kepada tetangga atau teman. Itu tercermin antara lain dari suburnya budaya menggunjing atau ghibah, saling menghina, rendahnya kepedulian terhadap sesama. Tak heran jika banyak anak-anak juga berperilaku demikian.
Memang ada tipe anak yang kehadirannya membuat lingkungan tidak aman dan nyaman. Contohnya Amel, sebut saja begitu. Anak kecil ini gemar menjahili temannya di rumah atau di sekolah. Ada saja ulahnya yang bikin temannya jengkel, geregetan, bahkan menangis. Pertengkaran pun kerap terjadi. Sebagian orang tua yang anaknya diganggu Amel kadang ikut  ‘turun tangan’ mengomeli anak itu, bahkan ada yang menjewer telinga, menjitak kepala, atau menghardiknya.
Tentu saja, Amel yang masih TK itu tidak bisa disebut tidak beriman. Dia hanyalah anak yang salah didik. Sifatnya yang suka mengganggu orang lain lahir dari contoh yang diberikan orang tuanya. Ibunya Amel sudah terkenal suka menyakiti hati tetangga dan kadang “menjahili” anaknya sendiri. Disadari atau tidak, kenyataan sudah membuktikan.
Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam,  mengingatkan, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka muliakanlah tetangganya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Sayangnya, masih banyak orang yang enggan memuliakan tetangga.
Ada baiknya kita banyak mengoreksi diri, sudahkah kita memuliakan tetangga? Sudahkah kita memberikan rasa aman tetangga? Adakah lisan dan perbuatan anak-anak kita yang mengganggu teman? Jika semua baik-baik saja, bersyukurlah. Selanjutnya, mari berusaha terus berbuat baik pada mereka. Jika ternyata keluarga kita masih meresahkan tetangga, maka harus segera berbenah untuk menjadi lebih baik.
Prinsip awal berbuat baik kepada tetangga adalah dengan tidak mengganggu dan menyakiti. Jika ada anak kita yang hobi melempari pohon mangga milik tetangga, bertindaklah segera. Jika ada anak kita yang merusak barang milik temannya, uruslah segera. Begitu seterusnya. Tentu saja, tindakan yang kita ambil harus dengan bijaksana. Menasehati tanpa menyakiti, mengingatkan tanpa kekerasan, mengajarkan kebaikan dengan keteladanan.
Setelah berusaha tidak mengganggu, mari berusaha untuk aktif berbuat kebaikan. Bersikap ramah, gemar menolong, memenuhi hak-hak tetangga. Anak-anak kita pun diajari demikian.
Tanpa mau aktif berbuat baik kita bisa terjebak dalam kasus menyakiti tetangga tanpa sengaja. Memasak makanan yang enak tentu tidak berdosa. Itu hak kita. Tetapi jika anak kita memakan makanan enak itu di hadapan anak tetangga tanpa mau memberi, itu bisa dinilai mengganggu tetangga.  Apalagi jika anak tetangga sampai merengek kepada orang tuanya dan minta dibuatkan makanan serupa. Berkait kasus semacam itu, sebaiknya kita didik anak-anak untuk  suka berbagi dan peduli kepada orang lain.
Mari saling memberikan rasa aman dalam pergaulan.  Mari kita didik anak-anak kita untuk banyak berbuat baik  dan tidak menyusahkan teman atau tentangga. Semoga dengan demikian, hidup kita menjadi tentram dan nyaman, terjauh dari maksiat dan iman pun meningkat. Sungguh terasa nikmat. []

M. Sutrisno
Ketua Komite Sekolah SDIT Insan Utama, Kasihan Bantul
Aktivis Yayasan Pusat Dakwah & Pendidikan “Silaturahim Pecinta Anak-anak” Indonesia
sumber gambar : www.eramuslim.com

Powered by Blogger.
close