Menangani Perilaku Mengompol Anak
Bu Eka mengeluh
karena anaknya, Si Andri yang berusia 5 tahun masih sering mengompol. Si Andri
tidak hanya mengompol ketika tidur, tetapi juga ketika sedang bermain ataupun
ketika di sekolah. Bu Eka kadang-kadang sampai
kesal dengan perilaku mengompol Si Andri.
Wajarkah
anak seusia Andri masih mengompol? Pertanyaan ini mungkin juga terlintas di benak
Bu Eka. Dalam sebuah referensi psikologi, perilaku mengompol anak baru
dikatakan menjadi sebuah gangguan psikologis yang sering disebut dengan istilah
“enuresis” jika anak pada umur 5 tahun ke atas mengompol di tempat tidur
maupun di baju, minimal 2 kali selama seminggu dan terjadi berturut-turut
minimal dalam 3 bulan. Jadi, jika Si Andri dalam seminggu mengompol minimal 2
kali dan hal tersebut berlangsung terus selama minimal 3 bulan, maka Si Andri
dapat dikatakan mengalami gangguan psikologis yang sering disebut dengan
istilah enuresis.
Mengapa Si Andri
yang sudah berusia 5 tahun masih mengompol ? Hal ini dapat disebabkan oleh
beberapa hal. Yang pertama adalah faktor organik atau biologis. Perilaku mengompol anak terjadi karena adanya gangguan/kerusakan
organ-organ biologis anak yang berkaitan dengan sistem pembuangan. Misalnya,
kandung kemih anak mengalami infeksi.
Faktor yang
kedua adalah faktor kepribadian anak. Anak yang gampang stress atau gampang
tertekan juga dapat mengalami enuresis. Misalnya, siangnya si anak habis
bertengkar dengan teman-temannya, karena ia anak yang gampang stress, maka
malamnya dia akan mengompol. Anak yang gampang stress biasanya adalah anak-anak
yang toleransi terhadap frustasi rendah dan anak-anak yang kurang mampu
beradaptasi. Selain itu, seringkali ketika anak asyik bermain ia akan cenderung
menahan pipis, sehingga yang terjadi kemudian anak mengompol karena sudah tidak
tahan lagi menahan pipisnya.
Faktor yang
ketiga adalah faktor dari orangtua. Orangtua yang terlalu permisif atau
memanjakan anak biasanya membiarkan saja ketika anak mengompol, mengompol malah
menjadi bahan olok-olokan orangtua. Anak juga tidak diajari bagaimana caranya
agar tidak mengompol. Selain itu, orangtua yang permisif ini biasanya menuruti
semua keinginan anak, sehingga anak terbiasa semua keinginannya terpenuhi. Ini
akan membentuk karakter anak, toleransi anak terhadap frustasi menjadi rendah,
anak menjadi gampang stress, sehingga ketika stress sedikit langsung mengompol.
Masih
terkait dengan faktor orangtua, orangtua yang otoriter juga dapat menjadi
penyebab perilaku mengompol anak. Orangtua yang otoriter adalah orangtua yang
sukanya memerintah anak, menyuruh anak dan kurang dapat memahami anak. Orangtua
otoriter ini inginnya didengar anak, tetapi tidak mau mendengar anak. Anak yang
memiliki orangtua otoriter akan menjadi anak yang tertekan, perasaan tertekan
anak ini kemudian memunculkan perilaku mengompol.
Bagaimana
agar gangguan “mengompol” anak tidak keterusan? Jika karena faktor organik,
maka perlu penanganan medis. Jika faktor orangtua, maka sikap orangtua yang
perlu dirubah. Orangtua tidak lagi bersikap otoriter dan memanjakan anak.
Orangtua diharapkan mampu mengajari anak untuk dapat buang air kecil dengan
benar. Cara yang ampuh untuk mengajari anak agar dapat buang air kecil dengan
benar adalah dengan pembiasaan. Misalnya, sebelum tidur anak diminta untuk
buang air kecil terlebih dahulu. Kemudian di tengah malam, orangtua perlu
membangunkan anak untuk buang air kecil. Jika ini sudah menjadi kebiasaan, anak
biasanya akan bangun sendiri tanpa dibangunkan oleh orangtua ketika ingin buang
air kecil.
Bagaimana
agar anak tidak mengalami gangguan “mengompol” ? Dalam referensi psikologi,
disebutkan bahwa ketika anak berusia 2 tahun, orangtua sudah dapat mulai
mengajari anak untuk buang air kecil atau buang air besar dengan benar.
Sebenarnya dalam kenyataannya ada beberapa ibu yang berhasil mengajari anaknya sebelum
anak berusia 2 tahun. Dalam mengajari BAK atau BAB dengan benar diperlukan kejelian/kepekaan
orangtua. Orangtua harus tahu bagaimana reaksi tubuh anak ketika akan BAK atau
BAB. Misalnya, orangtua tahu kalau anaknya pingin BAK atau BAB biasanya gelisah
(misalnya duduk/berdiri dengan gelisah).
Selain itu, orangtua juga perlu memiliki
kesabaran dan ketelatenan. Setelah orangtua melihat dari reaksi tubuh anak
sepertinya anaknya pingin BAK, orangtua tidak langsung membawa anaknya ke kamar
mandi, tetapi bertanya dulu pada anak, misalnya “ adik pingin pipis ya?”
Hal ini penting untuk mengajari anak peka terhadap perasaan pingin BAK atau
BAB. Setelah itu, anak baru dibawa ke kamar mandi sambil diberitahu bahwa bila
anak merasakan hal seperti ini di lain hari bilang sama ibu atau ayah. Di kamar
mandi, orangtua juga perlu mengajari anak bagaimana cara membersihkan diri dan
membersihkan kamar mandi setelah BAK atau BAB. Hal ini juga sangat penting
untuk mengajari kebersihan pada anak. Agar dalam mengajari anak dapat berhasil
dengan baik, mungkin untuk seorang anak hanya diperlukan beberapa kali, tapi
bagi anak yang lain sampai puluhan kali. Disinilah dibutuhkan kesabaran orangtua. Allahu’allam bi showab. Dr. Hepi Wahyuningsih, M.Psi.
Dosen Psikologi Fakultas Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta.
sumber gambar : denniaprelia.blogspot.com
Post a Comment