Mencari Simpati
Ibu
rumah tangga, tinggal di Yogya
Lukman
al Hakim mewasiatkan pada anaknya,”Duhai anakku, janganlah engkau jadikan
hatimu terpaut dan tergantung pada simpati, pujian dan makian manusia. Sebab
hal itu tidak akan bisa diraih, biarpun manusia berusaha keras untuk
menggapainya dengan kemampuan maksimalnya,”
Sang
anak kemudian meminta ayahnya memberikan contoh nyata yang bisa dilihatnya
sendiri dari pesan tersebut. Lukman lalu mengajak anaknya keluar beserta keledai
tunggangannya. Lukman kemudian menaikinya dan membiarkan sang anak berjalan di
belakang. Mereka kemudian melewati suatu kaum. Kaum itu pun berkata,”Dasar
orangtua tidak tahu diri! Sama sekali tidak punya belas kasihan. Dia menaiki
keledai, anaknya disuruh berjalan di belakang. Padahal dia jauh lebih kuat dari
anaknya. Sungguh contoh yang sangat jelek!” seloroh mereka.
Lukman
menoleh ke anaknya dan berucap,”Kamu dengar ucapan dan penolakan mereka, Nak?”
Lukman kemudian turun dan meminta anaknya menaiki keledai itu. Begitu melintasi
kaum lain, kaum itu pun berkata,
”Ini orangtua dan anak sungguh buruk
kelakuannya. Anak kok tidak dididik
sehingga enak sendirian naik tunggangannya, sedang ayahnya berjalan di
belakang. Bukankah orangtua lebih layak dimuliakan dan dihormati? Dasar anak
durhaka!” seru mereka.
Lukman
pun mengingatkan anaknya untuk tidak terpancing ucapan mereka dan tetap
mendengarkan saja ucapan kaum tersebut atas perbuatan mereka. Lukman dan
anaknya lalu bersama-sama menaiki keledai tunggangannya tersebut. Kembali
mereka melewati suatu kaum. Ocehan bernada sindiran pun kembali terdengar di
telinga mereka dari kaum tersebut. “Dasar orangtua dan anak tidak punya belas
kasihan. Keledai sekecil itu ditunggangi berdua. Sungguh berat dan sangat
menyakiti hewan tersebut. Semestinya yang satu naik, sedang yang satu lagi
berjalan. Itu lebih adil dan maslahat,” teriak mereka.
“Kamu
dengar ucapan mereka, Nak?” tanya Lukman.
“Ya,
Ayah,” jawab sang anak.
“Kalau
begitu, mari kita biarkan keledai ini berjalan sendiri dan tidak usah kita
tunggangi. Jawaban apa yang akan kita dengar dari kaum yang akan kita lewati
nanti,” sambung Lukman.
Sampailah
mereka ke kaum yang mereka lewati. Kaum tersebut pun berkata,”Sungguh orang
yang sangat aneh. Punya tunggangan kok malah dibiarkan berjalan sendiri, tidak
mereka naiki,” Sama halnya dengan kaum-kaum sebelumnya, kaum tersebut juga
mengecam dan mencibir tindakan Lukman dan anaknya.
“Nak,
kamu lihat, bagaimana hasrat untuk meraih simpati manusia itu sebagai suatu
keinginan yang mustahil. Maka janganlah kamu menoleh dan bergantung pada
mereka. Sibukkanlah aktivitasmu dalam meraih ridho Allah. Sebab di dalamnya ada
hal yang efektif, ada kebahagiaan dan penerimaan. Baik di dunia maupun di saat
hari perhitungan,” nasihat Lukman pada sang anak.
Dewasa
ini, banyak kita temui orangtua yang berjuang mendidik dan membesarkan anaknya
dengan tujuan meraih simpati dan pujian masyarakat. Biaya besar tidak mereka
pedulikan asalkan sang anak bisa masuk ke sekolah favorit yang murid-muridnya
acapkali meraih prestasi gemilang dalam berbagai ajang perlombaan. Tak jarang
pula ada yang sampai mengikutsertakan sang anak di berbagai les untuk mengetahui
dan mengasah bakatnya. Ketika sang anak mampu meraih prestasi juara, orangtua
terlihat sangat puas dengan tepuk tangan para hadirin. Pujian dan simpati pun
akan mengalir kepadanya. Akan tetapi jika sang anak gagal memenuhi harapan
orangtuanya, maka sebaliknya, cibiran miring pun akan tertuju pada orangtua.
Bukan tidak mungkin orangtua akan merasa kecewa dan gagal dalam mendidik anak
hanya karena kalah dalam prestasi.
Maka
dari itu, mari kita tilik kembali niat kita dalam mendidik anak. Apakah hanya
sekedar mencari simpati dan pujian, atau memang benar-benar dalam rangka
aktivitas menuju ridho Allah. Semoga kita termasuk golongan orangtua yang
benar-benar berusaha meraih ridho Allah dalam mendidik anak. Amin….||
Post a Comment