Mencari Simpati


Nur Muthmainnah,
Ibu rumah tangga, tinggal di Yogya

Lukman al Hakim mewasiatkan pada anaknya,”Duhai anakku, janganlah engkau jadikan hatimu terpaut dan tergantung pada simpati, pujian dan makian manusia. Sebab hal itu tidak akan bisa diraih, biarpun manusia berusaha keras untuk menggapainya dengan kemampuan maksimalnya,”

Sang anak kemudian meminta ayahnya memberikan contoh nyata yang bisa dilihatnya sendiri dari pesan tersebut. Lukman lalu mengajak anaknya keluar beserta keledai tunggangannya. Lukman kemudian menaikinya dan membiarkan sang anak berjalan di belakang. Mereka kemudian melewati suatu kaum. Kaum itu pun berkata,”Dasar orangtua tidak tahu diri! Sama sekali tidak punya belas kasihan. Dia menaiki keledai, anaknya disuruh berjalan di belakang. Padahal dia jauh lebih kuat dari anaknya. Sungguh contoh yang sangat jelek!” seloroh mereka.
Lukman menoleh ke anaknya dan berucap,”Kamu dengar ucapan dan penolakan mereka, Nak?” Lukman kemudian turun dan meminta anaknya menaiki keledai itu. Begitu melintasi kaum lain, kaum itu pun berkata,
”Ini orangtua dan anak sungguh buruk kelakuannya. Anak kok tidak dididik sehingga enak sendirian naik tunggangannya, sedang ayahnya berjalan di belakang. Bukankah orangtua lebih layak dimuliakan dan dihormati? Dasar anak durhaka!” seru mereka.
Lukman pun mengingatkan anaknya untuk tidak terpancing ucapan mereka dan tetap mendengarkan saja ucapan kaum tersebut atas perbuatan mereka. Lukman dan anaknya lalu bersama-sama menaiki keledai tunggangannya tersebut. Kembali mereka melewati suatu kaum. Ocehan bernada sindiran pun kembali terdengar di telinga mereka dari kaum tersebut. “Dasar orangtua dan anak tidak punya belas kasihan. Keledai sekecil itu ditunggangi berdua. Sungguh berat dan sangat menyakiti hewan tersebut. Semestinya yang satu naik, sedang yang satu lagi berjalan. Itu lebih adil dan maslahat,” teriak mereka.
“Kamu dengar ucapan mereka, Nak?” tanya Lukman.
“Ya, Ayah,” jawab sang anak.
“Kalau begitu, mari kita biarkan keledai ini berjalan sendiri dan tidak usah kita tunggangi. Jawaban apa yang akan kita dengar dari kaum yang akan kita lewati nanti,” sambung Lukman.
Sampailah mereka ke kaum yang mereka lewati. Kaum tersebut pun berkata,”Sungguh orang yang sangat aneh. Punya tunggangan kok malah dibiarkan berjalan sendiri, tidak mereka naiki,” Sama halnya dengan kaum-kaum sebelumnya, kaum tersebut juga mengecam dan mencibir tindakan Lukman dan anaknya.
“Nak, kamu lihat, bagaimana hasrat untuk meraih simpati manusia itu sebagai suatu keinginan yang mustahil. Maka janganlah kamu menoleh dan bergantung pada mereka. Sibukkanlah aktivitasmu dalam meraih ridho Allah. Sebab di dalamnya ada hal yang efektif, ada kebahagiaan dan penerimaan. Baik di dunia maupun di saat hari perhitungan,” nasihat Lukman pada sang anak.
Dewasa ini, banyak kita temui orangtua yang berjuang mendidik dan membesarkan anaknya dengan tujuan meraih simpati dan pujian masyarakat. Biaya besar tidak mereka pedulikan asalkan sang anak bisa masuk ke sekolah favorit yang murid-muridnya acapkali meraih prestasi gemilang dalam berbagai ajang perlombaan. Tak jarang pula ada yang sampai mengikutsertakan sang anak di berbagai les untuk mengetahui dan mengasah bakatnya. Ketika sang anak mampu meraih prestasi juara, orangtua terlihat sangat puas dengan tepuk tangan para hadirin. Pujian dan simpati pun akan mengalir kepadanya. Akan tetapi jika sang anak gagal memenuhi harapan orangtuanya, maka sebaliknya, cibiran miring pun akan tertuju pada orangtua. Bukan tidak mungkin orangtua akan merasa kecewa dan gagal dalam mendidik anak hanya karena kalah dalam prestasi.
Maka dari itu, mari kita tilik kembali niat kita dalam mendidik anak. Apakah hanya sekedar mencari simpati dan pujian, atau memang benar-benar dalam rangka aktivitas menuju ridho Allah. Semoga kita termasuk golongan orangtua yang benar-benar berusaha meraih ridho Allah dalam mendidik anak. Amin….||
Powered by Blogger.
close