Mengendalikan Marah, Membangun Suasana Indah
Kesediaan untuk mengendalikan marah dan memaafkan kesalahan adalah
salah satu kunci dalam membangun hubungan dan suasana yang indah. Konflik yang
sering muncul di tengah keluarga seringkali berawal dari kemarahan yang tidak
terkendali dilengkapi dengan sifat enggan saling memaafkan. Baik itu antara
suami dan istri maupun orangtua dan anak. Akibatnya, menjauhlah ketenteraman,
sirnalah kedamaian.
Menurut Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam, orang yang kuat bukan yang jago berkelahi tetapi orang
yang dapat mengendaikan marah (HR. Bukhari-Muslim). Jika ada orangtua yang
mengumbar kemarahan untuk menunjukkan bahwa dirinya orang kuat adalah langkah
yang keliru.
Suami marah kepada istri atau orangtua marah kepada anak itu boleh
saja jika alasannya bisa dibenarkan agama. Misalnya karena berbuat
kemaksiatan atau kesalahan. Meski begitu, kemarahan tidak boleh diumbar begitu
saja. Harus ada pengendalian diri sehingga tidak terjadi kekerasan dalam rumah
tangga.
Boleh saja orangtua memarahi anak tapi tidak dengan
kata-kata tercela. Jangan mencaci maki yang bisa bikin runyam suasana. Dan
pintu maaf tetaplah dibuka.
Jika ada orangtua marah lalu mengeluarkan sumpah serapah, suasana
akan menjadi gerah. Bukan tidak mungkin kalau sang anak akan membalas kemarahan
orang tua dengan sumpah serapah serupa. Jika tangan dan kaki ikut beraksi,
keadaan pun bisa semakin parah.
Berusaha mengendalikan marah dan suka memaafkan adalah bagian dari
tanda-tanda orang yang bertaqwa (QS. Ali Imran: 134). Keduanya akan membuat
hidup terasa lebih indah dan urusan menjadi lebih mudah.
Orang yang menjadikan marah sebagai hobi mudah dijadikan sebagai
budak setan. Rasulullah mengingatkan, “Sesungguhnya
amarah itu berasal dari setan, dan ssesungguhnya setan itu berasal dari api.”
(HR. Abu Dawud, Ahmad, Al-Baghawi).
Jangan biarkan setan mengobarkan api kemarahan dalam diri kita dan
anak-anak kita. Bagaimana caranya?
Pertama, selalu ingat Allah, membaca ta’awudz,
juga ber-istighfar. Kedua, Rasulullah
menuntunkan agar ketika dilanda marah kita berwudhu. Insya Allah, api kemarahan
tidak berkobar, kesejukan kita rasakan. Ketiga, mengubah posisi.
Jika marah datang saat berdiri maka duduklah. Jika saat duduk kemarahan datang
kita sebaiknya berbaring. Keempat, bercermin bisa menjadi alternatif untuk meredakan kemarahan. Saat
marah kita akan bisa melihat betapa buruknya wajah kita. Akankah wajah buruk
itu sering dipamerkan kepada orang lain, termasuk kepada anak-anak kita?
Bagaimana jika kita mendapati anak-anak kita sedang marah? Kadang
kita menjadi kaget saat anak kita marah-marah sambil mengucapkan perkataan jelek.
Bagaimana sikap kita?
Pertama, jangan mudah terpancing. Perlu dipahami, kemarahan anak adalah
cara untuk memancing orang tua. Jika berhasil tentu anak akan suka
mengulanginya. Kedua, kita mesti memahami, anak marah itu hal yang
wajar. Perkataan kasar anak tidak perlu dimasukkan dalam hati. Itu hanyalah
luapan emosi sehingga lisan sulit terkendali. Jadi kita tidak perlu
menanggapinya dengan kemarahan pula. Bukalah pintu maaf. Ketiga, jika
anak-anak berteriak, “Ayah jahat, ibu nakal!” tak perlu kita membalas
dengan berkata : “Kamu yang nakal, nggak
nurut sama orangtua!” Tak perlu juga diberi ancaman, “Awas, kalau bilang ibu
nakal, kamu ngggak akan dibelikan bakso.” Tanggapan semacam itu bisa jadi malah
membuat anak semakin bersemangat untuk marah. Keempat, mari beri teladan
bagaimana mengendalikan emosi.. Kemarahan anak tidak perlu ditanggapi dengan
emosi. Kalau kita memberi teladan dengan bersikap sabar, InsyaAllah anak-anak
akan belajar dari keteladanan dan kesabaran kita. Kelima, kita bisa
memberi contoh menahan marah dengan diam. Ya, kita harus menebalkan
telinga, sambil mengoreksi diri, jangan –jangan kita memang bersalah telah
membuat anak marah.
Mari kendalikan marah dan saling memaafkan agar hidup bersama
terasa indah. []
M Sutrisno,
Ketua Komite Sekolah SDIT Insan Utama Yogyakarta
Post a Comment