Menjadi Orangtua yang Baik untuk Anak Didik
Tanggung jawab untuk mendidik anak sebagai generasi pembaharu bangsa merupakan
tugas penting bagi semua pihak. Karena anak adalah mutiara bagi siapa saja,
bukan hanya menjadi amanah bagi orang tua. Mereka adalah amanah bagi orang
dewasa di sekitarnya.. Rasulullah Shalallahu
’alaihi wa sallam bersabda: ”Demi Dzat yang jiwaku ada di tangan-Nya, tidak
akan masuk surga kecuali orang yang penyayang.” (HR Al Bazzar). Para pendidik
memegang peranan yang sangat vital dalam proses pendidikan anak. Karena itu,
setiap pendidik mesti mampu menganggap anak didik yang diamanahkan para
orangtua kepada mereka seperti halnya anak mereka sendiri. Mereka harus bisa
memposisikan diri sebagai orangtua bagi setiap anak didik.
Pendidik yang memposisikan diri sebagai orangtua adalah ketika ia mampu
menjadi suritauladan yang baik (uswatun hasanah). Karena anak-anak
adalah peniru ulung. Mereka akan mencontoh setiap perkataan dan tingkah laku
orang dewasa yang dilihat dan ditemuinya setiap hari. James Baldwin mengatakan,
”Anak-anak itu memang tidak cukup cermat dalam mendengarkan kata
-kata
orangtua, tetapi mereka tidak pernah gagal dalam meniru orangtua.” Dengan
memahami diri sebagai pendidik yang berperan sebagai orangtua, maka akan selalu
ada kontrol diri bahwa pendidik adalah model atau contoh bagi anak-anak,
sehingga kita dapat memilih untuk menilai perilaku kita.
Anak adalah pribadi yang unik, sehingga antara anak yang satu dengan yang
lain tentu tidak sama cara pendekatannya. Jadi bukan sikap yang bijak ketika
melihat anak yang menangis, lalu ia memaksa anak untuk segera diam menghentikan
tangisnya. Akan lebih arif jika menelaah terlebih dahulu sebab anak menangis.
Anak-anak juga ingin dimengerti atau dipahami. Sebuah sentuhan, pelukan, dan
tutur kata yang halus adalah reaksi yang menenangkan dan mendamaikan anak yang
sedang menangis. Sentuhan adalah respon yang diterima anak dengan lugas,
memberikan energi positif dan anak
merasa tidak sendiri dan ada yang menemani, juga perasaan dipahami. Sama halnya
ketika anak berada dalam kondisi hati yang tidak terkendali bahkan hingga temper
tantrum (mengamuk). Dapat diredakan setelah dipeluk, diusap pelan atau
ditepuk-tepuk dengan lembut punggung atau bahunya, lalu diajak bicara
pelan-pelan. Jadi menangis adalah salah satu proses mengelola emosi bagi anak,
selain merupakan cara alami mengeluarkan toksin dalam tubuh si anak.
Pendidik yang mengajar karena panggilan hati dan bekerja dengan menjalin chemistry pada semua anak didiknya, adalah
pendidik yang mampu menciptakan antusiasme anak dalam bermain dan belajar. Ia
tidak hanya dapat meraba dan menyentuh hati anak, namun juga terampil
menyenangkan hati mereka, yaitu dengan memicu sistem limbic. Hal itu dapat dilakukan dengan cara mengajak anak
menyanyi, bertepuk tangan, bermain, selalu menghargai karya anak, peduli, juga mencintai,
yang bisa ditunjukkan dengan memberikan pelukan, sanjungan, memanggil dengan
panggilan sayang dan memberikan hadiah (reward). Pada saat anak berada
pada kondisi gembira, bagian limbic
pada otaknya, atau yang lebih dikenal sebagai tempat rasa sayang dan pusat
emosi, akan terbuka sehingga anak dengan mudah menyerap pelajaran yang
diberikan.
Bagaimanapun uniknya karakter anak, jika pendidik bertugas profesional
dengan melibatkan hatinya, sehingga ia mampu menyelami luasnya jiwa sang anak,
sesungguhnya ia telah menjadi orang tua yang sukses membangun sebuah pondasi
kuat bagi anak-anak. Sebagai modal awal untuk melejitkan potensi diri yang
kokoh menjulang tinggi, baik potensi intelektual, spiritual, dan sosial. Juga
sebagai orang tua yang berhasil mengantarkan anak-anak yang terlahir di dunia
ini untuk mengukir jutaan mimpi, membersamai langkah kecil mereka untuk
menghimpun motivasi yang terpupuk sejak dini, agar mimpi tersebut terealisasi
suatu saat nanti. Insya Allah.[]
Maulani, S. SosI
Pendidik di TPA Prabha Dharma, Yogyakarta
Post a Comment