Nilai Kejujuran dan Penilaian yang Jujur
Tidak terbantahkan, apalagi oleh
para guru akan keutamaan nilai jujur. Namun ada
kendala yang dihadapi para guru ketika akan melakukan kejujuran secara total.
Kejujuran yang harus dilakukan sebagai bentuk tanggungjawab dan contoh yang
harus dilakukannya di hadapan para
murid. Menjadi dilema bagi guru tidak bisa melakukan suatu yang seharusnya
dilakukan.
Bisa saja
terjadi “benturan” sistem yang terkait dengan penilaian
belajar anak. Sebenarnya secara konsep tidak ada benturan, karena sistem
penilaian belajar di sekolah sudah diatur sedemikian
baik. Yang terjadi adalah adanya gap
pada tataran teknis. Tetapi jelas mengganggu sistem penilaian sebagai bagian
penting dari sistem pembelajaran.
Contoh kasus : sekolah
menekankan pada guru bahwa nilai mata pelajaran A pada ulangan tengah semester nanti tidak boleh
kurang dari 6,5 agar saat memberi nilai raport menambahnya tidak terlalu
banyak. Padahal di kelasnya ada 5
anak yang nilai mata pelajaran A saat ulangan tidak pernah lebih dari angka
6,0. Meskipun sudah tiga kali melalui program pembelajaran remedial. Berarti guru
mata pelajaran A terpaksa harus mengubah
nilai anak-anak agar sesuai dengan pesanan sekolah.
Akibat yang paling menohok adalah murahnya nilai kejujuran di hadapan
anak didik. Ada anak yang merasa
nilai ulangannya tidak pernah wajar
tetapi kok hasilnya di raport menjadi
wajar. Ia menyadari bahwa nilai raportnya tidak jujur. Akibat bagi anak selanjutnya
adalah melemahnya perjuangan untuk mendapatkan nilai ulangan wajar, toh nanti bisa berubah menjadi wajar.
Hasil penilaian yang tidak wajar
tentu berangkat dari proses pembelajaran atau cara mengambil nilai yang tidak
wajar. Proses Pembelajaran itu menyangkut empat komponen, yaitu : (1)
Kemampuan peserta didik dalam menyerap materi ajar, (2) Kemampuan guru dalam memainkan
peran ketika mendampingi anak agar materi ajar sampai kepada peserta didik, (3)
Daya dukung dan fasilitas belajar yang menjembatani terserapnya materi ajar
oleh peserta didik, serta (4) Kompleksitas dan kedekatan materi ajar bagi
peserta didik.
Selain
karena empat komponen di atas, ketidakwajaran nilai juga bisa terjadi akibat
kesalahan pada saat guru melakukan penilaian. Pengambilan nilai proses
pembelajaran ini menyangkut lima hal yang harus diperhatikan, yaitu ; (1) Memilih
teknik penilaian yang tepat, (2) Kesesuaian dengan karakteristik kompetensi
yang harus diraih peserta didik, (3) Memperhatikan tingkat perkembangan dan kondisi
lingkungan peserta didik, (4) Terpenuhinya syarat substansi, konstruksi dan
bahasa dari instrumen penilaian, dan (5) Terpenuhinya sembilan prinsip
penilaian, yaitu : sahih atau benar, objektif, adil, terpadu, terbuka, menyeluruh
dan berkesinambungan, sistematis, beracuan kriteria, dan akuntabel.
Dengan menganalisis empat komponen proses pembelajaran di atas, guru yang berpengalaman sudah bisa memperkirakan berapa persen daya serap anak-anak di kelasnya. Agar daya
serap ini menjadi nilai yang wajar maka guru bisa menentukan berapa angka kriteria ketuntasan
minimalnya.
Gap akan terjadi, dan terpaksa harus mengubah nilai
menjadi wajar apabila diterapkan angka kriteria ketuntasan minimal berdasarkan standar orang lain atau standar gengsi sekolah. Ini sering terjadi pada sekolah-sekolah yang “baik”. Yaitu
sekolah-sekolah yang menerima murid apa adanya. Sekolah-sekolah yang tidak
memilih murid. Sehingga memang selalu ada murid-murid yang mengalami kelambatan
belajar.
Jika
diasumsikan nilai tidak wajar itu akibat lemahnya sebagian komponen proses pembelajaran, maka
solusinya adalah bahwa angka kriteria ketuntasan dan standar kelulusan harus ditentukan
satuan pendidikan masing-masing. Kualitas sekolah tidak ditentukan oleh
tingginya angka standar kelulusan melainkan oleh tingginya rentangan antara
nilai input dan out put peserta didik. Sehingga sekolah tidak perlu gengsi dengan
standar kelulusan yang kalah tinggi.[]
Slamet Waltoyo,
Pengasuh Madin Saqura (Sahabat Alquran) Sleman
Post a Comment