Peran Sentral Guru dalam Pendidikan Karakter
Pada Majalah Fahma edisi Oktober 2012, tepatnya
rubrik Senggang, terdapat sebuah catatan yang menarik tentang pentingnya kita
memahami proses belajar anak yang berbeda. Saya hanya ingin sekedar memberikan
analisa tambahan, terutama dalam penerapannya saat proses kegiatan belajar dan
mengajar di kelas. Seorang guru tentu harus paham bagaimana cara muridnya untuk
menerima materi yang disampaikan, seperti dengan melihat, mendengar, membaca
dan sebagainya. Pun demikian dengan orangtua. Saya akan menjelasan proses
tersebut dalam, kaitannya dengan pendidikan karakter.
Pertama, Melihat dan Mendengar. Yakni proses belajar
yang ada contoh dan ada pengajarnya. Seorang guru tentu harus memberikan contoh dan
model karakter
yang dikehendaki anak didiknya. Jadi pada dasarnya semua guru bisa menjadi guru pendidikan
karakter.
Tentu
dengan catatan mau berkomitmen untuk menjadi
contoh dan menjelaskan bagaimana agar siswa dapat memiliki karakter
seperti gurunya. Demikian halnya dengan orangtua, anak hanya 30% waktunya di sekolah, 10-15 % lingkungan
sosialnya dan sisanya di rumah. Maka porsi terbesar adalah
orangtua yang menjadi guru pendidikan
karakter bagi anaknya.
Kedua, Mengatakan dan Melakukan. Ini terkait dengan peraturan
dan sistem yang
berlaku lingkungan belajar. Peraturan di sekolah dan di rumah harus selaras dengan tujuan pendidikan
karakter. Saya akan memberi contoh, di beberapa kota
di Indonesia, kita
masih bisa memberhentikan angkutan umum sembarangan. Jika kita berada di jalan raya, kemudian kita melihat ada angkutan umum, tinggal angkat tangan saja, maka amgkutan umum itu akan
berhenti. Hal ini bisa berlaku di Indonesia, tapi tidak di Singapura. Di negeri itu, kita tidak bisa seenaknya saja
memberhentikan angkutan umum. Ada tempat khusus di mana angkutan umum tersebut mau
berhenti. Maka dapat kita simpulkan bahwa perilaku seseorang akan berubah mengikuti aturan yang
berlaku. Seperti yang terjadi dalam kisah di atas, jika
berada di Singapura, kita harus ke halte jika ingin naik kendaraan umum.
Jadi dalam pendidikan
karakter juga diperlukan seting lingkungan untuk mendukung perilaku Melakukan
yang akhirnya akan terbiasa. Seperti ada pepatah ‘bisa karena biasa’, sama seperti halnya aturan
baru dalam berlalu-lintas. Belakangan ini banyak aturan baru sehingga jalan yang biasanya
bisa 2 arah hanya satu arah untuk keefektifan pengguna jalan dan menghindari
kemacetan. Jika
kita langgar maka kena tilang. Awalnya pasti terasa berat, setelah 1 bulan sudah biasa, tidak ada
beban lagi. Manusia adalah mahluk yang mudah beradaptasi, terasa berat jika itu
dijalankan terus menerus, maka lama-lama terbiasa. Dalam melakukan pola ini, jangan lupa memberikan
konsekuensi jika melanggar.
Tentunya konsekuensi yang mendidik dan tidak merusak harga diri
anak. Contoh: jika melanggar, maka mainan kesukaan anak akan disita 2 hari.
Dengan pendidikan
karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan,
seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini
adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena
seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan
kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis.
Namun bagi sebagian keluarga,
barangkali proses pendidikan
karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi
sebagian orangtua
yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, sebaiknya pendidikan
karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan
sekolah, terutama sejak Play Group dan Taman Kanak-kanak.
Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut “digugu lan ditiru”
dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan
langsung dengan peserta didik.||
Yusuf Sabiq Zainuddin
Pendidik di SDIT An Nida Sokaraja, Jawa Tengah
Post a Comment