Tidak Harus Disalahkan
“Anak Bapak dan Ibu tak punya inisiatif
untuk belajar di kelas, tolong diberitahu ya!”
“Anak Anda nilainya jelek, jika ini terjadi ia bisa tidak naik kelas, tolong dinasehati ya!”
“Anak Bapak dan Ibu tidak punya motivasi dan kurang bertanggungjawab, tolong dilatih di rumah ya!”
“Anak Anda nilainya jelek, jika ini terjadi ia bisa tidak naik kelas, tolong dinasehati ya!”
“Anak Bapak dan Ibu tidak punya motivasi dan kurang bertanggungjawab, tolong dilatih di rumah ya!”
“Anak Anda kurang percaya diri dan susah
bicara kalau ditanya, perhatikan perkembangannya di rumah, kalau seperti ini
terus ia bisa tidak naik kelas.”
“Anak itu suka berbohong, siapa sih
orangtuanya?”
Itulah sederet komentar yang membuat
orangtua menjadi merasa bersalah dan tak berdaya. Para guru, masyarakat dan
mungkin juga para para pejabat sering menyalahkan orangtua atas kenakalan anak
dan problem para remaja. Namun apakah mereka yang menyalahkan para orangtua itu
memberikan jalan keluar yang memuaskan? Pada akhirnya orangtua menemukan jalan mereka
sendiri, kebingungan dan tak berdaya atas apa yang terjadi pada anaknya. Mereka
merasa telah berbuat banyak untuk anaknya namun hasilnya malah membuat para orangtua semakin bingung apa yang sebenarnya harus dilakukan
untuk mendidik anaknya.
Ya, para orangtua sering
disalahkan namun kurang dilatih. Di Indonesia, setiap hari ribuan orang tiba-tiba memiliki pekerjaan dan predikat baru
sebagai –orangtua– saat bayi pertama mereka lahir. Para pasangan muda itu
menyambut gembira kehadiran buah hati tercinta mereka. Mereka tak menyadari
bahwa mereka sedang terseret ke dalam sebuah “badai” yang akan disebabkan oleh
si mungil yang tampak tak berdaya itu. Tangisan tengah malam yang akan
membangunkan mereka, tanggungjawab penuh atas kesehatan fisik dan emosi sang
bayi yang akan beranjak menjadi anak-anak, remaja, dan orang dewasa, serta
berbagai aturan atau strategi yang harus dipikirkan untuk mendidik “pendatang
baru bumi” itu yang bisa memicu pertengkaran atau konflik baru di antara para
suami dan istri.
Pekerjaan menjadi orangtua adalah
pekerjaan tersulit di dunia namun tidak pernah ada sebuah informasi holistik
untuk melakukan hal itu. Permasalahan yang disebutkan di awal tulisan ini
hanyalah sebagian kecil masalah yang bisa menghambat potensi jenius seorang
anak.
Kebanyakan permasalahan seperti di atas
berasal dari hilangnya rasa aman yang dibutuhkan seorang anak. Sebagaimana kita
ketahui rasa aman adalah kebutuhan mendasar dari setiap manusia. Jika rasa aman
terganggu maka kita akan berusaha dengan sekuat tenaga mendapatkannya. Demikian
juga dengan anak-anak. Sebagai lambang permintaan akan adanya rasa aman itu
mereka “menunjukkan perilaku menyimpang” agar dapat perhatian dari orangtuanya.
Bagaimana membuat mereka merasa aman?
Tidak terlalu sering mengkritik perilaku anak-anak. Kita sering terjebak dengan
sebuah frase “saya tidak ingin kamu terperosok ke lubang yang sama”. Oleh
karena itu mereka berusaha mencegah dan mengatur segala perilaku anak agar sang
anak “tidak terperosok ke lubang yang sama”.
Namun cara kita melakukan hal ini sangat
melukai hati mungil anak-anak mereka. Akhirnya para bayi tak berdosa itu tumbuh
menjadi remaja yang mengatakan “ibu saya sebenarnya baik namun cerewetnya itu
lho… mana tahan!”, “bapak saya itu sebenarnya penuh pengertian walau sering
memaksakan pemikirannya sendiri seperti tidak pernah remaja saja” bahkan
mungkin ada juga komentar “ibu itu seperti anak kecil, maunya semua keinginannya
dituruti, apa dia pikir saya ini masih anak-anak yang harus diatur, saya kan
punya pikiran sendiri.”
Semua komentar itu sebenarnya adalah
perwakilan dari rasa tidak dipercaya seorang anak yang pada gilirannya mengusik
rasa aman yang dibutuhkannya. Karena merasa tidak dipercaya oleh orangtuanya,
maka dalam bertindak mereka menjadi ragu-ragu dan akhirnya pada satu titik sang
anak tidak mengambil tindakan apapun karena mereka tahu pada akhirnya pasti ada
yang kurang, disalahkan, dan dimarahi.
Mereka tidak merasakan penerimaan yang
tulus dari orangtuanya. Penerimaan itu seringkali diukur dari prestasi
akademiknya semata. Kita orangtua – tidak semua – seringkali sibuk
memerhatikan nilai dan nilai dan nilai, namun mengabaikan perasaan terdalam
seorang anak.
Cobalah kita hitung berapa banyak kritikan
yang kita lontarkan dan berapa ucapan terima kasih yang kita sampaikan dalam
sehari pada anak tercinta. Kita akan kaget mengetahui bahwa kita ternyata lebih
banyak memberikan kritikan daripada pujian. Tak heran banyak anak-anak tumbuh
menjadi dewasa diliputi dengan banyak perasaan bersalah dan perasaan tak mampu.
Jika sebagai orangtua kita juga merasa seperti ini cobalah tengok dan ingat
kembali bagaimana cara kita dibesarkan dan perbaiki cara itu pada anak-anak
tercinta kita sekarang ini.
||
Muhammad
Nazhif Masykur, Direktur LPI Salsabila Yogyakarta.
sumber gambar : papadanmama.com
Post a Comment