Berlibur ke Perpustakaan
Seorang
ibu keluar menggandeng anak balitanya dengan wajah ceria dari sebuah gedung
yang menjulang ke langit. Di dalam gedung itu, ada sebuah ruangan besar yang
asri nan nyaman. Anak-anak bisa “jungkir balik” di situ, atau melahap aneka
buku bergizi senikmat mereka mengunyah pizza. Para orang tua pun tampak serius
dengan buku-buku dan sumber bacaan digital. Ruang bacaan dan koleksi buku-buku
di lantai dasar itu memang khusus untuk anak-anak dan parenting. Ya,
saya sedang berada di National
Library. Milik sebuah negeri yang mungil : Singapore. Sebuah
perpustakaan terpadu yang terdiri dari Central Lending Library, the Lee Kong Chian Reference Library, dan juga Drama Centre.
Saya terkesan, betapa
mereka sangat menghargai buku dan para pencinta buku. Tengoklah bagaimana para
petugasnya melayani para pengunjung dengan ramah dan sigap. Ketika saya
menjelajahi “The Lee Kong Chian
Reference Library” dari lantai 7-13, petugas jaga selalu siap menjawab
pertanyaan bahkan mengantar saya menemukan buku di raknya, setelah mengecek di
komputer katalog. Di lantai 11, saya mencari sebuah buku berjudul “Future
Television”. Petugasnya meminta saya menunggu 10 menit. “Buku ini, ada di
bagian yang lain, akan saya ambilkan,” katanya. Tepat 10 menit, Ia datang
dengan buku berwarna cerah. “Apakah buku ini yang Anda cari?” katanya dalam
bahasa Inggris berlogat China. Olala, rupanya buku itu adalah fiksi ilmiah
anak-anak.
Singapore memang
memberikan perhatian besar dalam pengembangan ilmu pengetahuan yang disimbolkan
melalui buku. Sayangnya, wisatawan Indonesia yang menjadi juara 1 pengunjung
terbanyak di Singapore (tahun 2007 berjumlah 1.956.000 orang) tidak begitu
berhasrat menjadikan National Library atau perpustakaan-perpustakaan
lain sebagai objek kunjungan mereka. Mereka lebih tertarik membajiri Orchard
Road dan tempat-tempat sejenis. Mereka adalah para penggila belanja alias shopoholics
yang terkenal paling royal. Tak ada sama sekali kesan Indonesia adalah
negara miskin, bila melihat orang-orang yang gila belanja itu di Singapore. Saya
jadi teringat 3 orang permata hati saya yang sedang “gila” membaca : Azzam,
Zulfa, dan Nuha. Andai saja mereka berkesempatan mengunjungi negeri-negeri yang
lain, termasuk Singapore, maka perpustakaan yang mencerdaskan, selayaknya
menjadi objek kunjungan utama mereka. (InsyaAllah ya Nak.. suatu saat!).
Saya tak begitu tega membandingkan
kondisi National Library Singapore itu dengan suasana perpustakaan
nasional atau perpustakaan daerah kita yang berdebu. Hanya saja, saya bertanya
dalam hati, sebegitu miskinkah kita?
Apakah pemerintah atau tokoh-tokoh kita tak punya cukup uang untuk membangun
perpustakaan yang layak dan nyaman, sehingga menjadi tujuan utama para orang tua
dan anak untuk “menghabiskan waktu”? Sepertinya tidak. Buktinya,mereka mampu
menggelontorkan banyak duit untuk klub sepak bola yang kalah melulu. Nyatanya,
para pemimpin lebih suka menghabiskan uang milyaran rupiah untuk mengiklankan
diri di televisi, atau memasang potret diri mereka, lengkap dengan
slogan-slogan tanpa bukti di sepanjang jalan seantero negeri. Atau, tengok
saja, seorang isteri gubernur di suatu daerah menghabiskan dana jutaan rupiah untuk memasang iklan di harian
lokal, “hanya” untuk mengumumkan kepada publik kalau kucing kesayangannya
hilang.
Masalahnya ada pada visi.
Visi untuk jadi bangsa yang maju dan cerdas lewat buku yang belum kita punya. Budaya
baca yang rendah sudah lama disadari, tapi tak pernah sungguh dicarikan solusi.
Banyak sebenarnya yang bisa dilakukan semua pihak untuk mengejar ketertinggalan
kita di dunia pustaka. Perpustakaan nasional, daerah atau yang dimiliki
perguruan tinggi sudah saatnya direformasi menjadi pusat ilmu senyaman
pusat-pusat perbelanjaan. Bukan sekadar asal ada. Uang-uang berlebih dari para
orang kaya, pejabat, kandidat kepala daerah, tokoh parpol, atau siapapun, akan
lebih bermakna bila diinfakkan ke perpustakaan, daripada “hangus” di
jalan-jalan.
Dalam skala yang lebih
kecil, kita bisa berbuat lebih banyak dengan perpustakaan-perpustakaan sekolah
kita. Tak masalah rasanya, jika gedung sekolah terlihat sederhana, tetapi
koleksi buku-buku perpustakaan bertambah setiap bulan. Ruangan dan fasilitasnya
dibuat paling lengkap dan nyaman. Perpustakaan sudah selayaknya mendapat
prioritas nomor satu. Para petugas perpustakaan juga bukan ala kadarnya tetapi
pustakawan profesional yang benar-benar cinta buku.
Beruntung, sekolah anak
saya, Azzam dan Zulfa, SDIT Hidayatullah Yogyakarta, telah menunjukkan itikad
baiknya untuk menempatkan perpustakaan dalam posisi terhormat. Hampir setiap
hari, Azzam dan Zulfa membawa buku baru dari perpustakaan sekolahnya. Kadang
mereka harus diingatkan berkali-kali untuk ganti baju sekolah atau mandi,
karena keasyikan membaca buku pinjaman begitu tiba di rumah. Menurut cerita
mereka, perpustakaan sekolah selalu penuh pada jam-jam istirahat. Para siswa
lebih memilih beristirahat dengan membaca, atau menonton koleksi audiovisual
yang lumayan lengkap di perpustakaan yang sejuk.
Ketika saya pulang ke
Jogja, saya menemukan sebuah perpustakaan umum yang nyaman di Jogja Utara :
Taman Bacaan Natsuko Shioya. Saat kami sekeluarga mengunjunginya, kami semua
langsung merasa betah. Koleksi bacaannya cukup lengkap. Gedung dan ruang
bacaannya yang didisain nyaman dengan
suasana alam yang menyegarkan, membuat anak-anak sulit diajak pulang. Rasanya
waktu berlalu begitu cepat di situ. Perpustakaan itu bukan milik pemerintah,
atau dibangun oleh tokoh nasional yang banyak uang. Tapi didedikasikan oleh
Glen Goulds, asal Australia dan perusahaan tempatnya bekerja CV Satria Grafika
untuk mengenang seorang turis Jepang yang dulunya sering berkunjung ke
Yogyakarta, Natsuko Shioya. Nyamannya suasana perpustakaan itu membuat saya dan
isteri tak lagi bingung merencanakan liburan anak-anak. Kami sudah
menggagendakan Taman Bacaan Natsuko
Shioya (dan mungkin perpustakaan-perpustakaan lain di kota kami) menjadi tujuan
utama untuk mengisi liburan mendatang. Ya, InsyaAllah, kami akan berlibur ke
perpustakaan. (**)
Subhan
Afifi,
Doktor University
of Malaya Kuala Lumpur,
Pimpinan Redaksi Majalah Fahma
sumber gambar : yayasansejahterakajen.wordpress.com
Post a Comment