Berteriak Bisa “Mematikan”
Berteriak.
Mungkin tindakan ini dianggap biasa oleh kebanyakan orang. Di rumah, orang tua
berteriak kepada anak, “Banguuun”, “Cepat sarapan” atau “Ayo, berangkat
sekolah, lambat banget sih ...”. Di kelas, guru berteriak, “Diaam” atau “Cepat
kerjakan, begitu saja tidak bisa”. Bagi sebagian orang, teriakan dianggap
biasa. Dengan berteriak, anak akan cepat bangun, mandi, dan ke sekolah. Dengan
berteriak, anak menjadi tenang dan bersegera menyelesaikan tugas.
Siapapun
kita, terlebih sebagai orang tua atau pendidik, yang gemar berteriak, perlu mengetahui bahwa berteriak itu bisa “mematikan”. Pendidikan yang menonjolkan kekuasaan
yang di antaranya ditandai oleh teriakan, bentakan, atau bahkan ancaman, perlu
dihindari dan beralih pada paradigma pendidikan humanistis yang lebih
mengedepankan sisi manusiawi anak didik. Kita perlu memposisikan anak layaknya
orang dewasa yang perlu dihormati dan dihargai, tidak dibentak dan diteriaki.
Allah Ta’ala berfirman, “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah
suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai. (QS: Luqman: 19). Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan teladan, sebagaimana dikatakan Anas r.a.,“Aku telah melayani Rasulullah selama 10 tahun. Demi Allah,
beliau tidak pernah mengeluarkan kata-kata hardikan kepadaku, tidak pernah
menanyakan: ‘Mengapa engkau lakukan?’ dan pula tidak pernah mengatakan:
‘Mengapa tidak engkau lakukan?” (HR.
Imam Bukhori).
Apabila berteriak dimaksudkan
sebagai ungkapan marah, lantas, apakah kita tidak boleh marah? Tentu saja boleh.
Bahkan pada situasi tertentu kita wajib
marah, misalnya apabila mendapat anak melanggar etika atau syariat. Apabila berteriak
dimaksudkan untuk mendisiplinkan anak, lantas, apakah kita boleh membiarkan
anak berperilaku seenaknya? Tentu saja tidak. Namun kira
perlu mengelola diri agar dapat marah atau mendisiplinkan anak tanpa harus
meninggikan intensitas suara. Kita perlu menyadai bahwa anak berpendengaran
normal, tidak tuli. Lagi pula, rumah atau ruang kelas juga terbatas luasnya,
sehingga berteriak tidak bermanfaat. Berteriak juga sangat kontraproduktif,
misalnya anak akan membalas berteriak. Apabila berteriak
sudah menjadi kebiasaan, maka lama kelamaan anak akan menyepelekan teriakan itu.
Anak akan berpikir, “Memang Bapak saja yang bisa berteriak, saya juga bisa”.
Atau anak juga akan berpikir, “Ah, biarkan saja. Nanti juga diam sendiri”. Bahkan
sangat mungkin mereka akan mempertanyakan apakah orang tua atau guru menyayangi
mereka. Efek lainnya, karena pendidikan sejatinya adalah keteladanan, maka
sangat mungkin anak akan meneladani kebiasaan tidak baik itu.
Sebagai
pendidik, kita perlu mengantisipasi agar tindakan anak yang berpotensi membuat
jengkel tidak terjadi. Hal itu dapat dilakukan, misalnya dengan mengajak anak membuat
kesepakatan dan aturan yang jelas tentang berbagai hal. Di rumah, orang tua
perlu bersepakat tentang jam berapa anak harus bangun, berangkat sekolah, boleh bermain, belajar, dan
sebagainya. Di sekolah, guru bisa bersepakat tentang apa yang boleh dan tidak
boleh dilakukan. Orang tua dan guru perlu bersepakat pula dengan anak tentang
segala konsekuensi atas pelanggaran aturan atau kesepakatan. Cara demikian
berpotensi untuk menciptakan ketertiban dan oleh karenanya akan menghindari
teriakan. Selain itu, untuk mengurangi teriakan, pendidik perlu lebih
mengedepankan tindakan nyata. Misalnya, ketika anak mencoret-coret tembok dengan spidol, orang tua dapat mengambil spidolnya dan menyediakan kertas
gambar.
Demikianlah,
sebagai pendidik, kita perlu terus melatih diri agar lebih bersikap santun,
tidak kasar, tidak berteriak. Kita perlu waspada akan sabda
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam,
“Barang siapa yang tidak dikaruniai sifat lemah lembut,
maka ia tidak dikaruniai segala macam kebaikan”. (HR.Muslim). []
Dr Ali Mahmudi,
Dosen Pendidikan Matematika, Universitas Negeri Yogyakarta
sumber gambar : arrahmanelgontory.wordpress.com
Post a Comment