Budaya Sekolah Berbasis Malu
Enam
orang mahasiswa datang ke sekolah untuk
minta ijin melakukan observasi terhadap proses belajar mengajar di kelas. Mahasiswa
ini menjalankan tugas dari mata kuliah Psikologi Pendidikan. Karena Kepala
Sekolah sedang menerima tamu yang lain,
maka para mahasiswa tadi menunggu di depan kantin sekolah. Sambil menunggu
mereka membeli kue dan memakannya sambil berdiri di depan kantin. Tidak lama
kemudian datang dua orang murid kelas empat bertanya kepada Pak Makruf. Hanif
dan Yudi bertanya tentang peristiwa yang baru saja disaksikannya di depan
kantin. “Pak Makruf, orang-orang yang di depan kantin itu sudah besar kok
boleh makan sambil berdiri?” tanya Yudi yang kemudian disambung Hanif; ”
Mereka kok tidak malu ya Pak...?”
Hanif
dan Yudi mempertanyakan sikap atau tindakan orang lain yang dianggapnya tidak
benar. Yudi mempertanyakan dengan kata; kok boleh, sedangkan Hanif
dengan kata ; kok tidak malu. Bagi Hanif dan Yudi, makan sambil berdiri
adalah tindakan yang dilarang dan memalukan. Perbedaan kata yang dipakai Hanif
dan Yudi menunjukkan perbedaan pemahaman mereka tentang larangan makan sambil
berdiri. Yudi menganggap larangan makan sambil berdiri adalah peraturan yang
tidak boleh dilanggar sedangkan Hanif menandainya
sebagai tindakan yang tidak pantas dilakukan manusia.
Di
sekolah, di mana anak-anak menjalankan tata tertib dan menghidupkan
budaya sekolah, hendaknya tata tertib dan budaya sekolah ini dirasakan sampai
pada tingkat malu. Terutama tata tertib atau budaya sekolah yang terkait dengan syariat. Sehingga anak
menegakkan tata tertib dan budaya sekolah bukan karena takut hukuman dari
sekolah melainkan karena ia malu kepada Allah Ta’ala. Jika Hanif
makan sambil duduk bukan karena takut ditegur guru melainkan
karena ia malu kepada Allah Ta’ala jika makan
sambil berdiri. Sehingga ada atau tidak ada guru Hanif
tetap sambil duduk.
Malu
adalah cara penegakkan tata tertib atau menghidupkan budaya
sekolah dengan pendekatan ihsan. Beberapa hal yang terkait penegakan
budaya malu di sekolah adalah : Pertama, tata tertib dan budaya sekolah yang ingin ditegakkan
mempunyai dasar syariat dan dapat dibuat
tata tertib atau budaya di sekolah. Misalnya menebarkan salam, adab
makan, adab berpakaian, adab di masjid, hak sesama muslim, adab di jamban, dan
sebagainya. Kedua, semua guru harus
menjadi teladan bagi pelaksanaan budaya malu kapan dan
di manapun. Artinya, semua guru
melaksanakannya atas dasar ihsan sehingga bisa dilihat dan dirasakan
anak. Tanpa membatasi tempat dan waktu di sekolah dan di luar sekolah. Ketiga, bentuk
budaya yang akan dikembangkan harus dibuat definisi yang jelas dan aplikatif
sehingga semua guru – baik akademis
maupun non akademis – dapat
memahami, menjelaskan dan memberi contoh.
Adapun yang keempat,
budaya
sekolah diperkenalkan dan dilatihkan kepada anak sedini mungkin. Pada
waktu orientasi murid baru dilatihkan secara detil kemudian secara berjenjang
dilatihkan tentang semua budaya sekolah. Semua anak kelas bawah dipastikan
sudah melakukan budaya sekolah kemudian
pada kelas atas mulai dipahamkan mengapa anak harus memiliki budaya tersebut. Kelima, semua
warga sekolah berkewajiban menjaga budaya yang dikembangkan. Menjaga tegaknya
tata tertib menjadi kewajiban semua warga sekolah. Guru, juga semua warga sekolah harus “jueh”
terhadap anak-anak. Jangan enggan dan bosan-bosan mengingatkan anak dan
menunjukkannya. Dalam mengingatkan anak hendaklah digunakan pendekatan ihsan.
Sifat malu selalu dikedepankan dalam menyemangati anak untuk menghidupkan
budaya sekolah. Keenam, hal penting yang lain adalah adanya dukungan
keluarga dan masyarakat dalam menjaga budaya yang dikembangkan. sekolah
harus mengkomunikasikan budaya sekolah kepada orang tua sejak anaknya bergabung
sebagai murid. Dalam hal ini orang tua perlu diikat dengan Kontrak Pendidikan
yang harus disepakati.
Post a Comment