Dunia Sekolah : Ketuntasan Belajar
RUA Zainal Fanani
Seperti biasa,
kehadiran Bu Ilham selalu membuat suasana berubah menjadi heboh. Ada saja ucapan dan
pertanyaannya yang membuat Pak Ruslan dan Bu Ruslina tergelak.
“Eh, Pak
Ruslan, anak saya kan
baru saja menerima rapor. Tahu tidak kata apa yang paling banyak ada di rapor
itu?” tanya Bu Ilham dengan wajah lucu.
“Wah, Bu Ilham
ini paling pintar bikin tebak-tebakan. Saya saja yang guru tidak pernah
terpikir membuat tebak-tebakan sekreatif Bu Ilham …” komentar Pak Ruslan.
“Pak Ruslan
tidak usah memuji-muji. Ini kan Cuma cara Pak
Ruslan untuk berkelit dari pertanyaan saya, kan ? ujar Bu Ilham.
Pak Ruslan dan
Bu Ruslina hanya bisa tersenyum kecut. “Kami nyerah deh, Bu. Apa coba, kata yang paling banyak tertulis di rapor
ana-anak kita …?? Bu Ruslina akhirnya menyerah.
Kini Bu Ilham
yang tersenyum. “Setelah saya perhatikan, yang paling banyak tertulis di rapor
anak saya adalah kata TUNTAS. Setiap nilai mata pelajaran kok ada saja
keterangannya yang menyebut-nyebut kata itu. Ada sudah tuntas, belum tuntas … Pokoknya
tuntas … tas … tas …tas …! Ane-aneh saja rapor anak zaman sekarang ..”
Bu Ruslina
tampak tertawa melihat gaya
Bu Ilham dalam berbicara. Memang begitulah Bu Ilham, selalu ekspresif bila
berbicara. Kata-katanya pun terkesan jenaka.
“Pak Ruslan,
Bapak harus menjelaskan kepada saya. Segala macam tetek-bengek kata TUNTAS itu
maksudnya apa? Lha saya kan
kurang paham. Kan gak ada hubungannya dengan nama sebuah pil yang terkenal itu kan ?” Pak Ruslan dan Bu
Ruslina kembali tertawa.
“Ya tentu saja
tidak, Bu. Istilah tuntas itu konsekwensi dari model pembelajaran tuntas yang
dianut oleh kurikulum baru di sekolah. Istila asingnya mastery learning …” Pak Ruslan mulai menjelaskan.
“Oalah, saya
ini kan
kurang paham tentang pendidikan di sekolah. Pak Ruslan jangan pakai kata-kata
yang malah membuat saya semakin bingung. Apa tadi master … ah …kalau master of ceremony saya tahu …”
“Lha Bu Ilham
belum-belum sudah memotong kata-kata saya. Kan saya belum selesai menjelaskannya …”
Bu Ilham tampak
tersipu-sipu. “Jangan marah, Pak inilah Bu Ilham … Sabar ya, Pak … Kali ini Bu
Ilham beracting seolah sangat
bersalah.wajahnya memelas.
Bu Ruslina
tidak bisa menahan rasa gelinya. “Ya Allah,Bu Ilham ini memang seperti pelawak
saja …”
Dengan
tersenyum-senyum Pak Ruslan meneruskan penjelasannya, “Kurikulum baru kita
memang berbasis kompetensi. Maksudnya, semua pembelajaran ditujukan pada
terkuasainya kompetensi tertentu oleh siswa, jadi guru tidak hanya bertugas
menyapaikan materi pelajaran sehingga bahannya habis. Tapi, yang dituntut
adalah penguasaan anak terhadap materi itu, baik dalam aspek kognitif, afektif
maupun psikomotor, tentang yang tiga ini lain waktu saya jelaskan.
Yang jelas,
agar siswa benar-benar kompeten dalam kompetensi yang telah ditentukan, siswa
harus mencapai standar ketuntasan. Itulah sebabnya, ukuran keberhasilan belajar
anak adapada tercapai tidakya ketuntasan anak dalam menguasai sebuah kompetensi
…”
“Aduh … aduh …
aduh, kalau begini Pak Ruslan tampak sangat pintar, dan saya … semakin gak tampak bodohnya … Eh, nggak juga,
Pak. Saya sedikit-sedikit juga paham kok …”
“Masih lumayan
kalau Bu Ilham paham. Saya malah bingung, Bu …” komentar Bu Ruslina.
“Tapi, ada
yang masih mengganjal di benak saya, lha kalau ada anak yang kemampuannya tidak
sama, katakanlah lebih lemah dari teman-temannya sekelas, lalu bagaimana? Dia kan tidak pernah
mencapai ketuntasan … Ketinggalan terus …”
“Wah
pertanyaan Bu Ilham bagus sekali. Memang ini sangat mungkin terjadi. Bahkan di
setiap kelas hampir selalu ada siswa seperti ini.”
“Solusinya?”
“Guru harus
menyediakan waktu tambahan kepada siswa-siswa istimewa ini, hingga mereka pun
akhirnya mencapai ketuntasan juga, ini disebut pembelajaran remidial …” jawab Pak Ruslan. “Pada
waktu yang sama, siswa-siswa yang lain boleh diberi materi pengayaan, sehingga
ketuntasan belajarnya semakin mantap,” tambahnya.
“Wah, berarti
ada anak-anak tertentu yang ikut remidial berlanggana ya, Pak.” seloroh Bu Ilham.
Pak Ruslan
tertawa. “Begitulah. Itu sudah menjadi tugas guru untuk memberikan layanan
belajar kepada siswa-siwanya yang memiliki kemampuan berbeda-beda. Tapi, tetap
saja guru harus berusaha agar semua siswanya mencapai ketuntasan belajar ..”
“Apa ya bisa
semua anak mencapai ketuntasan belajar 100% to, Pak? Walaupun anaknya cerdas,
rasanya sulit mencapai ketuntasan seperti itu …” komentar Bu Ruslina.
“Memang tidak
mungkin semua anak tuntas 100%. Dalam hal ini sekolah dan guru dapat menentukan
berapa prosen penguasaan anak terhadap kompetensi tertentu dianggap tuntas.
Sekolah yang bagus dan maju mungkin menentukan 80%, sekolah yang lain mungkin
60%. Sekolah dapat menentukan sendiri berdasarkan kondisi masing-masing. Tapi,
bila standarnya terlalu rendah, sekolah itu akan dinilai oleh masyarakat
sebagai sekolah yang rendah kualitasnya. Tapi tetap saja tidak boleh
sembarangan menentukannya …”
Bu Ilham
tampak manggut-manggut. “Saya kok jadi merinding ya, Pak. Tugas guru itu
sekarang ini ternyata sangat berat. Menghadapi anak-anak yang bermacam-macam
polah-tingkahnya, berbeda-beda kemampuannya. Tapi semuanya harus mencapai ketuntasan
belajar. Untung saya sudah bukan anak sekolah lagi. Seandainya saya masih
sekolah, gurunya pasti tambah pusing”.
“Kalau Bu
Ilham masih sekolah, Bu Ilham harus sekolah di SMP terus …”
“Maksudnya …?”
Bu Ilham mengernyitkan dahinya.
“Sekolah
Menengah Pelawak …!”
Bu Ilham
memonyongkan bibirnya. Derai tawa Pak Ruslan dan Bu Ruslina pun terdengar
keras.
sumber gambar : iin-aina.blogspot.com
Post a Comment