Dunia Sekolah : Kompetensi Siswa
RUA Zainal Fanani
Ihwal sekolah
yang harus pandai-pandai merancang pengalaman belajar bagi siswa-siswinya sudah
mulai dipahami oleh Bu Ruslina. Bahkan Bu Ruslinapun juga mulai paham, di
rumahpun orangtua dapat melakukan hal yang sama. Orangtua dapat memanfaatkan
berbagai kejadian, atau sesuatu yang disaksikan bersama, sebagai pengalaman
belajar bagi putra-putrinya.
“Bi, kalau
misalnya Uminya mau mengajarkan kepada Angga pentingnya menguasai keterampilan
mengelola rumah, berarti Ummi harus memikirkan pengalaman belajar apa yang akan
diberikan kepada Angga, ya Bi?”
“Betul. Tapi
Umi perlu menyesuaikan dengan tingkat usia Angga,” jawab Pak Ruslan. “Ummi
sudah paham, Bi. Kalau Cuma menyapu lantai, mengelap meja kursi atau mencuci
gelas, rasanya Angga sudah bisa …”
Pak Ruslan
tersenyum. “Di jaman ini, banyak lho, orangtua yang lupa mengajarkan hal
semacam itu. Banyak yang berpendapat, itu pekerjaan pembantu. Akibatnya bukan
saja anak-anak mereka jadi tidak mapu melakukan hal yang sangat sederhana
seperti itu, tetapi juga malah mengajari anak-anak mereka kemalasan. Yang lebih
buruk secara tidak langsung mereka mengajarkan bahwa pekerjaan-pekerjaan
seperti itu adalah pekerjaan hina, pekerjaan yang kurang berharga. Dan ini
jelas keliru.” Urai Pak Ruslan.
“Iya ya, Bi.
Banyak juga lho Ibu-ibu yang berpandangan, sebaiknya anak-anak disuruh belajar
dan mengaji saja. Soal bersih-bersih rumah, cuci baju, memperbaiki genting
bocor, memasakkan dan yang semacamnya sudah ada yang mengerjakan : simbok …”
Pandangan mata
Bu Ruslina terlihat menerawang jauh ke masa kecilnya. Waktu sang bunda banyak
melatihnya membereskan pekerjaa rumah.bunda pula yang mengajarinya memasak
hingga sekarang ini Pak Ruslan selalu memuji-muji lezatnya masakan Bu Ruslina.
Bu Ruslina juga meiliki ayah penuh kasih sayang, namun tegas dan disiplin. Soal
shalat, ngaji, berangkat ke sekolah di awal waktu, kerapian pakaian benar-benar
tidak bisa ditawar-tawar. Mengingat semua itu membuat mata Bu Ruslina
berkaca-kaca. Meskipun dulu kadang terasa sedikit menyebalkan, tapi kini semua
terasa manfaatnya.
“Kok Ummi mau
menangis?” tanya Pak Ruslan yang melihat perubahan mimik Bu Ruslina.
“Ummi jadi
ingat Bunda dan Ayah almarhum. Mereka telah memberikan pengalaman belajar yang
luar biasa kepada Ummi. Ummi juga harus melakukan hal yang sama pada anak kita;
Angga. Meski pengalaman belajar yang kita ajarkan harus tetap disesuaikan
dengan kebutuhan jaman ini dan jaman yang akan datang …”
“Para pengelola sekolah sebenarnya melakukan hal yang
sama. Mata pelajaran boleh sama, tapi masing-masing sekolah memikili kemampuan
memberikan pengalaman belajar yang berbeda. Sekarang ini, melalui kurikulum
yang baru, pemerintah telah menentukan berbagai kemampuan yang harus dimiliki
oleh para siswa. Mulai dari kemampuan yang bersifat umum untuk masing-masing
jenjang, hingga kemapuan yang bersifat khusus untuk masing-masing mata
pelajaran beserta rinciannya. Berbagai kemampuan itulah yang disebut kompetensi
…”
Rupanya Pak
Ruslan sengaja membelokkan ke dunia sekolah, supaya bu Ruslina tidak semakin
sedih.
“Oh apa itu
sebab kurikulumnya disebut Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bi?” tanya Bu Ruslina
agak serius.
“Benar. Nama
resminya kurikulum 2004, tapi lebih kita kenal dengan KBK (Kurikulum Berbasis
Kompetensi),” jawab Pak Ruslan.
“Yang disebut
kompetensi itu meliputi kemampuan apa saja sih, Bi?”
“Ya meliputi
pengetahuan, sikap, keterampilan, pola pikir, pola pandang dan sebagainya. Dan
kompetensi inilah yang kemudian ditentukan oleh pemerintah agar dapat dikuasai
secara tuntas oleh para siswa melalui kegiatan pembelajaran. Adapun kegiatan pembelajaran
itu ya … pemberian pengalaman belajar …”
Kali ini Bu
Ruslina merasa agak kurang nyaman. Abi kok bicaranya kayak penatar saja. Santai dikitlah,
Bi”
“Ya … ya … ya,
kalau ada yang belum jelas, mana yang mau ditanyakan?”
“Jadi, …
bagaimana caranya supaya guru-guru dapat memberikan pengalaman belajar kepada
murid-muridnya, Bi”
“Tentu saja
para guru dituntut untuk membuat perencanaan pembelajaran. Mereka harus
merancang pemberian pengalaman belajar itu secara tertulis, lalu harus
mengevaluasi ketercapaiannya sesuai dengan kompetensi yang dikehendaki.”
“Lalu …
bagaimana caranya para guru tahu bila kompetensinya telah tercapai, Bi?”
“Dalam rencana
pembelajaran yang disusun itu, para guru sudah menentukan hal-hal apa saja yang
menunjukkan bahwa pembelajaran mencapai hasil yang baik. Tanda-tanda
keberhasilan itu disebut indikator keberhasilan. Jadi, kalau para siswa dalam
evaluasinya menunjukkan telah mampu memenuhi indikator yang telah ditetapkan,
ya pembelajaran disebut berhasil atau tuntas …” jawab Pak Ruslan.
“Wah, tugas
guru itu ternyata cukup rumit dan berat ya, Bi.”
Pak Ruslan
tersenyum. “Yah, tugas profesional seorang guru memang seperti itu. Itupun
masih harus ditambah dengan kewajiban-kewajiban lain seperti memberi
keteladanan, dan sebagainya. Itulah sebabnya tidak semua orang bisa menjadi
guru di sekolah. Bukan hanya untuk para siswa, untuk menjadi guru juga ada
standar kompetensinya …”
Bu Ruslina
manggut-manggut tanda semakin mengerti. Tiba-tiba wajanya berubah ceria.
Pak Ruslan
terlihat heran. “Ada
apa, Mi?”
“Kalau Ummi,
sebagai istri dan ibu sudah memenuhi standar kompetensi belum ya, Bi?” tanya Bu
Ruslina sambil nyengir. Awas kalau
Abi bilang belum ..!
“Nanti dulu,
Abi kan belum
menyusun indikatornya …”
Mereka
berduapun tergelak []
sumber gambar : nonaelissa.blogspot.com
Post a Comment