Dunia Sekolah : Kurikulum Spiral
RUA Zainal Fanani
Sore itu, bu
Ruslina kedatangan tamu : Bu Ilham, teman penggerak pengajian ibu-ibu di
kampungnya. Seperti biasa, bila keduanya bertemu, suasana di ruang tamu yang
tadinya sunyi senyap berubah seperti rapat yang dihadiri oleh sepuluh orang.
Meriah.
“Bagaimana
kabarnya anak-anak, bu? Sehat-sehat semua?” tanya bu Ruslina.
“Alhamdulillah
semua sehat-sehat saja, bu Angga bagaimana?” tanya bu Ruslina.
“Alhamdulillah
sehat. Cuma, karena masih kecil, masih perlu banyak bimbingan dan pengarahan.”
“Loh, yang
perlu banyak bimbingan dan pengarahan kan
bukan yang kecil-kecil saja toh, bu. Cuma bentuknya saja yang berbeda. Kita
saja yang sudah tua-tua begini, juga masih perlu dibimbing. Itulah sebabnya
kita membuat kelompok pengajian Ibu-ibu, ya kan ?”
Setelah
berdiskusi setelah anak dan pengajian, tiba-tiba ibu Ilham menanyakan
keberadaan pak Ruslan.
“Ada apa toh bu?” tanya bu
Ruslina.
“Pak Ruslan kan tau banyak tentang
dunia pendidikan dan dunia sekolah. Saya ingin menanyakan sesuatu. Bu Ruslina kan tau sendiri, saya
kalau sudah penasaran sulit sekali dibendung. Harus secepatnya mendapat
jawabannya. Yah, sudah watak saya.”
Mendengar
namanya disebut-sebut pak Ruslan yang sedang asyik membaca buku langsung
bangkit dari tempat duduknya. Dia sudah hafal benar menilik suaranya yang
meriah, itu pasti bu Ilham. “Ada
apa? Nama saya kok disebut-sebut. Mau dikirimi ayam goreng Kalasan apa?” sapa
pak Ruslan begitu muncul di ruang tamu.
“Ah Pak Ruslan
bisa saja. Saya mau menanyakan sesuatu. Ini tentang spiral.”
Mendengar
kalimat terakhir yang diucapkan bu Ilham, pak Ruslan dan bu Ruslina saling
berpandangan. “Loh kalau ini sebaiknya ditanyakan kepada bu Bidan. Kalau abinya
anak-anak, jelas nggak paham, bu,” ujar bu Ruslina seraya tersenyum-senyum.
“lagi pula saya tidak memakainya.”
“Itulah yang
saya bingungkan. Ini bukan tentang alat kontrasepsi, bu. Ini soal pelajaran
agama anak-anak di sekolah. Suatu kali kan
saya baca-baca buku pelajaran mereka. Eh yang di SDIT belajar tentang sholat,
yang di SMP ada pelajaran tentang sholat lagi. Sudah begitu anak saya yang SMA
belajar lagi tentang materi sholat. Saya kan
heran sekali. Apa guru mata pelajaran kita kekurangan bahan pelajaran. Materi
sholat kok diulang-ulang terus. Di pertemuan orang tua wali siswa, hal ini saya
tanyakan kepada guru agamanya, pak. Tapi jawabannya kurang bisa saya pahami,
karena kebetulan sound systemnya sering mati. Yang saya ingat, guru agama itu
menyebut-nyebut kata spiral.”
Dengan sedikit
menahan rasa geli, pak Ruslan jadi manggut-manggut.” O itu to persoalanya.”
Diam-diam bu
Ruslina merasa tertarik juga dengan masalah yang ditanyakan oleh bu Ilham.
“Umi kok juga
baru dengar kali ini, bi. Ada
spiral di sekolah anak-anak.”
Pak Ruslan
tampak merenung sejenak. “Guru agama itu tidak salah. Dia berusaha menjelaskan
kepada bu Ilham tentang kurikulum spiral.”
Kali ini yang
agak kaget malah bu Ruslina.” Loh, waktu abi nerangkan tentang kurikulum
kemarin kok nggak dijelaskan tentang kurikulum spiral ini.”
Pak Ruslan
tersenyum. “Memang, untuk materi-materi pelajaran tertentu, terutama yang
dianggap sangat penting, pembuat materi sengaja mengulang materi itu pada kelas
atau tingkat yang lebih tinggi, bahkan beberapa kali. Tentu saja pembahasannya
semakin diperdalam dan diperluas. Itulah sebabnya disebut spiral.”
“O … jadi
tadinya dimulai dengan sederhana, lalu di kelas yang lebih tinggi diperluas dan
diperdalam, lantas lebih diperdalam lagi di kelas selanjutnya. Bentuknya emang
seperti spiral ya, pak?” ujar bu Ilham.
“Betul.
Misalnya materi pelajaran shalat. Awalnya mungkin Cuma diajarkan bahwa shalat
itu wajib dan sehari dilaksanakan 5 waktu. Lalu diperdalam dengan materi
tentang kaifiat dan hafalan-hafalan bacaannya. Di SMP mungkin sudah ditekankan
tentang konsekwensi orang yang shalat dan tidak shalat. Di SMA mungkin sudah
membicarakan dalil-dalilnya secara lengkap. Perguruan tinggi dibicarakan
filosofinya, dsb.” Jawab pak Ruslan.
Bu Ruslina dan
bu Ilham tampak manggut-manggut. Mereka senang karena merasa mendapat ilmu
baru.
“Tapi, bi, sebenarnya
tujuan kurikulum spiral itu apa sih?” bu Ruslina yang justru tampak lebih
penasaran itu buru-buru bertanya.
“Pertama,
untuk hal-hal yang penting, memang perlu diulang-ulang. Bukankah anak-anak
kita, sudah diingatkan tentang shalat saja masih sering lupa dan lalai. Yang
kedua, materi pelajaran tertentu, meskipun sangat penting, tidak mungkin
diajarkan sekaligus. Materi sholat dengan segala seluk-beluknya misalnya, kan sudah banyak dan
luas. Tentu harus dibagi-bagi. Yang ketiga, menyesuaikan materi pelajaran
dengan tingkat kemampuan penalaran anak terhadap sebuah materi pelajaran. Semua
harus disampaikan berdasarkan kemampuan anak menurut usianya. Anak
SD kan
belum mampu diajak berpikir filosofis. Ini tentu ada waktunya tersendiri.
Keempat, memberi kesempatan kepada guru untuk memberi dorongan berkelanjutan.
Idealnya, setiap guru, pada setiap kesempatan, disemua jenjang, harus selalu
mengingatkan. Tapi ini prakteknya susah. Jadi, ibarat sebuah perjalanan, perlu
dibuatkan terminal-terminal. Kelima, dengan pendekatan spiral, bila guru
menemukan muridnya belum menguasai materi sebelumnya, masih ada kesepakatan
untuk mengulang dan memperbaikinya.
Mata bu Ilham
tampak berbinar-binar “Saya baru benar-benar paham sekarang.”
Bu Ruslina pun
tampak puas. Diam-diam, dia merasa berterima kasih kepada bu Ilham atas rasa
penasarannya itu. Soalnya, bu Ruslina sendiri jadi paham.
“Jadi, mi,
besok lagi, kalau ada pertanyaan tentang kurikulum spiral, jangan ditanyakan
pada bu Bidan.” Ujar pak Ruslan.
Bu Ilham
tergelak. Bu Ruslina mencubit pinggang suaminya. Tersipu-sipu.
foto : masthorif.
Post a Comment