Dunia Sekolah : Kurikulum Tersembunyi
RUA Zainal Fanani
Akhir-akhir ini Bu Ruslina sering uring-uringan. Pasalnya, banyak
perilaku dan akhlak Angga, putri satu-satunya yang sudah sekolah, yang sering
mengagetkannya, “Anak kita kok ucapannya sering jorok ya Bi.
Padahal kita kan tidak pernah mengajari seperti itu.”
Pak Ruslan
sebenarnya juga sama herannya. Beberapa kali ia memergoki Angga mengumpat
kepada teman-temannya. Kepada ayahnya pun putri semata wayangnya itu sering
mempertunjukkan sikap yang kurang hormat. “Abi juga merasakan begitu, di rumah
memang tidak diajari berakhlak seperti itu, tapi barangkali di sekolah.”
Bu Ruslina agak kaget. “Di sekolah? Masak
guru-guru di sekolah Islam mengajari anak kita berakhlak yang tidak terpuji, rasanya Umi kok tidak
percaya.”
Pak Ruslan tersenyum. Sebagai orangtua yang
belajar ilmu pendidikan, istrinya tentu masih kurang paham tentang apa yang
sesungguhnya bisa terjadi di sekolah. Namun, belum sempat Pak Ruslan memberi
penjelasan, Bu Ruslina sudah tidak dapat menyembunyikan rasa penasarannya.
“Bi, sekolahnya Angga kan sekolah Islam.
Kurikulumnya kan pasti islami. Masa ada pelajaran untuk berbicara sejorok itu.”
Yang terakhir ini. Bu Ruslina menyebut-nyebut
soal kurikulum. Rupanya Bu Ruslina belum terlalu paham makna dari kata
kurikulum. Yang dipahaminya hanyalah kurikulum sebagai sekumpulan mata
pelajaran, atau lebih luas sedikit, muatan materi dalam mata pelajaran. Tentu
itu tidak keliru. Tapi yang dipahami Bu Ruslina adalah kurikulum dalam arti
sempit.
Memang, dalam arti formal, kurikulum meliputi
semua hal, yang memungkinkan tujuan belajar di sebuah sekolah bisa tercapai.
Ini berarti, apa saja yang diprogramkan oleh pihak sekolah, termasuk oleh para
guru, dapat dimasukkan dalam pengertian kurikulum. Misalnya saja, dalam
membentuk pribadi siswa yang tangguh, sekolah menerapkan tata tertib dan
disiplin yang cukup tegas. Peraturan dibuat untuk diterapkan secara adil,
konsekuen dan tidak pandang bulu. Hal demikian, sesungguhnya termasuk
kurikulum, karena secara sengaja diberlakukan untuk mencapai tujuan tertentu.
Kagiatan ekstrakurikuler, pengembangan
organisasi kelas dan organisasi sekolah, pembinaan koperasi sekolah, kepanduan,
dan sebagainya juga termasuk di dalamnya. Para cerdik pandai menyebutnya
sebagai keseluruhan pengalaman belajar, yang dirasakan oleh siswa, dan telah
ditetapkan tujuannya.
Penjelasan Pak Ruslan tidak terlalu sulit
untuk dimengerti oleh Bu Ruslina. ‘Yah Umi tahu, semua yang Abi terangkan
memang punya tujuan baik. Berorganisasi memang baik untuk belajar kepemimpinan
dan mematangkan kepribadian. Kepanduan juga sama. Kegiatan ektrakurikuler bagus
untuk mengembangkan bakat dan minat. Itu sih Umi juga tahu. Yang Umi
baru, ternyata itu semua masuk dalam kurikulum, ya Bi?”
Pak Ruslan mengangguk, “Yang jelas kurikulum
bukan hanya susunan mata pelajaran.”
“Cuma Bi, apa hubungannya kurikulum dengan
perilaku buruk anak kita, akhir-akhir ini?”
tanya Bu Ruslina lebih lanjut. “Umi tidak percaya kalau sekolah tempat
Angga belajar membuat program seperti itu.”
“Ya jelas tidak,” Pak Ruslan tertawa. “Tapi,
walaupun tidak diprogram atau disengaja, ini termasuk kurikulum juga.”
“Eh, bagaimana Bi? Ahklak buruk kita termasuk kurikulum?” Bu Ruslina agak tersentak.
“Begitulah.”
“Umi kok jadi semakin tidak mengerti.”
Pak Ruslan tidak menyalahkan istrinya,
kebanyakkan orang juga memiliki pemahaman seperti itu. Orang cenderung kurang
menyadari bahwa sesungguhnya siswa banyak belajar dari hal-hal lain yang tidak
diprogramkan, atau tidak disengaja. Terkadang, pembentukkan karakter,
kebiasaan-kebiasaan lebih banyak terbentuk oleh hal-hal yang tidak disengaja.
Suasana sekolah dan kelas yang jorok, kurang bersih, akan membentuk karakter
siswa yang kurang peka pada masalah-masasalah kebersihan. Siswa tertentu,
belajar merokok, mengompas (meminta dengan paksa. Red), dan sebagainya justru
dari pergaulan dan suasana sekolah yang kurang kondusif. Bahkan, bisa saja
siswa brelajar mengembangkan kekerasan dari sikao kasar para gurunya. “Yang
begini-begini ini jelas tidak diprogram oleh sekolah. Tetapi terbukti
menimbulkan pengaruh.”
“Tapi masak iya sih ini masuk
kurikulum?” tanya Bu Ruslan dengan nada agak tinggi.
“Kalau di kurikulum formalnya ya tentu saja
tidak. Tapi inilah yang disebut kurikulum tersembunyi. Istilah kerennya hidden
curriculum,” jawab Pak Ruslan. “Disebut kurikulum tersembunyi, karena
sering tidak disadari, tak terlihat, tapi nyata akibatnya.”
Bu Ruslina terlihat mulai paham. Ia mulai
bisa memahami apa yang terjadi pada putrinya, Angga. Dalam keluarga Pak Ruslan
dan Bu Ruslina terbilang cukup sungguh-sungguh dalam membina ahklak putrinya.
Mereka berduapun tidak henti-hentinya memberi teladan. Mereka juga yakin, pihak
sekolahpun tidak akan memprogramkan hal-hal buruk. Tapi ternyata, putrinya
telah belajar sesuatu, tanpa disadari. “Wah, kalau begitu anak kita korban hidden
curriculum ya Bi?”
Pak Ruslan tersenyum kecut. Ia sangat
menyadari, tugas dan tanggungjawab sekolah memang tidak ringan. Salah satunya,
berusaha keras agar akibat negatif dari hidden curriculum dapat dicegah
dengan sekuat tenaga. Sebaliknya. “Kalau toh ada hidden curriculum, mudah-mudahan
yang akibatnya itu positif.”
“Lho ada juga yang berakibat positif to Bi?”
tanya Bu Ruslina.
“Tentu saja ada. Misalnya karena ada
teman-temannya yang suka berkelahi, anak kita jadi tahu kalau berkelahi itu
menyebalkan. Lalu, Angga sadar dan terlatih untuk melerai orang yang berkelahi.
Ia jadi banyak belajar bagaimana caranya memimpin dan mengajak berbuat baik.
Ini kan positif.”
Mata Bu Ruslina tampak berbinar-binar.
Senyumnya mengembang. “Umi kira, yang suka sembunyi-sembunyi cuma ada
dipermainan petak umpet, eh ternyata ada kurikulum yang tersembunyi ya Bi?”
ujarnya sambil memijat mesra pundak Pak Ruslan, suami tercinta. “Nanti soal
Angga Umi bicarakan dengan gurunya di sekolah. [masthorief/fahma
Post a Comment