Dunia Sekolah : Tujuan Belajar (2)



RUA Zainal Fanani
Lama tidak kelihatan, tiba-tiba Bu Ilham muncul bersilaturahmi ke rumah Pak Ruslan. Setelah mengucap salam dengan logatnya yang unik, Bu Ilham langsung nerocos dengan ucapannya yang ceplas-ceplos. “Kemana saja Pak Ruslan ini. Kok tidak pernah kelihatan. Padahal saya sudah agak lama tidak ke sini lho. Sibuk ya, Pak?”
Pak Ruslan tertawa kecil, “Terang saja nggak pernah kelihatan, Bu Ilham tidak ke sini sih. Kami kadang bertanya-tanya, apa Bu Ilham sudah pindah ya…?”
“Bukan begitu Pak. Saya khawatir, kalau sering-sering bersilaturahmi ke sini, mengganggu Pak Ruslan dan Bu Ruslina…”
“Itu tidak betul Bu Ilham. Kami justru senang….,” ujar Bu Ruslina yang tiba-tiba muncul setelah mendengar suara renyah Bu Ilham.
Begitu melihat Bu Ruslina, kontan saja Bu Ilham menyerahkan sebuah bungkusan.
“Aduh, apa ini Bu Ilham?”
“Pisang goreng. Untuk mengganti yang saya makan tempo hari, dua potong sekaligus!” ujar Bu Ilham, sambil tidak lupa memonyongkan bibirnya. “Bercanda lho....”
Pak Ruslan dan Bu Ruslina tertawa. “Bu Ilham ini kayak Benyamin S. aja…. Lucu…”
Mendengar nama Benyamin S. disebut oleh Bu Ruslina, ganti Bu Ilham yang terkekeh. Bu Ilham langsung ingat sesuatu. “Bukan Benyamin S. tapi Benjamin Bloom. Oh ya, itu yang saya pelajari beberapa waktu yang lalu. Taksonomi, ranah, kognitif, a…a…afektif, lalu…psiko…psiko…psikomotrik…! Betul kan Pak Ruslan?”
Subhanallah. Daya ingat Bu Ilham memang oke. Semuanya betul…”
Kembali Bu Ilham memonyongkan bibirnya. Kali ini agak sedikit membusungkan dada. Lucu sekali. “Kalau tentang ”taksonomi” dan “ranah”, saya sudah sedikit paham Pak. Tapi yang tiga belum dijelaskan....” Keburu menyeruput teh hangat dan dua potong pisang goreng....
Bila mengingat kejadian itu, Bu Ruslina jadi geli. Waktu itu wajah Bu Ilham tampak lucu sekali, karena mulutnya penuh dengan dua potong pisang goreng yang dilahap sekaligus.
“Kali ini saya ingin tahu tentang ranah yang pertama: ranah kognitif. Kelihatannya dulu Pak Ruslan menerangkannya begitu....”
Meskipun yang bertanya Bu Ilham, diam-diam Bu Ruslina ikut pula menyimak. Soalnya, meski istri seorang guru, Bu Ruslina juga belum begitu paham hal-hal mendalam tentang pendidikan. Itulah yang membuat Bu Ruslina juga sangat gembira bila Bu Ilham datang lalu banyak bertanya tentang dunia sekolah. Jawaban suaminya selalu menambah ilmu baginya.
“Iya benar, Bi. Ummi juga sering membaca komentar para tokoh tentang pendidikan kita. Katanya, pendidikan kita lebih banyak menekankan ranah kognitif. Yang lain cenderung terabaikan. Maksudnya bagaimana?” Bu Ruslina menimpali bertanya.
“Kita harus mulai dengan menjawab pertanyaan Bu Ilham. Apakah ranah kognitif itu? Begitu kan Bu Ilham?” tanya Pak Ruslan kepada Bu Ilham, menirukan nada bicara guru TK.
Bu Ilham memonyongkan bibirnya lagi. “Cepat dijelaskan to, Pak. Saya sudah pening menahan rasa ingin tahu berminggu-minggu lho…”
Subhanallah, rasa ingin tahu Bu Ilham ini tidak hanya besar, tapi….”
“Meluap-luap!!!” serobot Bu Ilham. “Saya kan ingin tahu lebih banyak, apa sebenarnya yang sehari-hari dilakukan di sekolahnya Abror. Dan semakin saya tahu, semakin hormat saya kepada guru-gurunya. Ternyata jadi guru itu tidak mudah ya, Pak.”
 “Baiklah. Kita mulai dengan ranah yang pertama, ranah kognitif. Ranah ini bisa dibilang berhubungan dengan kemampuan menerima, memahami, dan mengolah informasi, gejala, fakta, dan konsep....” Pak Ruslan mulai menjelaskan.
“Stop...stop...stop. murid veteran perlu penjelasan. Uraian Pak Ruslan barusan masih terlalu membingungkan bagi saya….,” potong Bu Ilham. Wajahnya agak manyun.
“Di sekolah Abror kan banyak menerima pelajaran yang berbentuk informasi dan konsep. Misalnya, apa ini? Untuk apa ini? Caranya bagaimana? Mengapa begitu? Bagaimana menerapkan atau menggunakannya? Kejadian seperti ini namanya apa? Kapan terjadinya? Apa akibatnya? Apa kesimpulannya? Hikmah apa yang bisa diambil? Informasi yang bisa didengar atau dibaca oleh Abror kan harus dimengerti dan dipahami, lalu diolah, dikait-kaitkan dengan informasi atau pengetahuan lain telah dimiliki, dsb. Nah, ini semua kita sebut sebagai proses berpikir atau ranah kognitif....”
Bu Ilham tampak manggut-manggut. Bu Ruslina juga.
“Bisa lebih jelas lagi, Pak? Mungkin kalau lebih diperinci, saya bisa lebih paham lagi.”
“Ranah kognitif ini memang terdiri dari enam tingkatan. Dari yang paling sederhana hingga yang paling rumit.”
“Enam? Banyak amat, Pak?”
Nggak masalah, kan? Daya ingat Bu Ilham kan terbukti oke,” ujar Pak Ruslan. “Yang pertama: Pengetahuan. Ini tingkatan terendah dari ranah kognitif, yaitu kemampuan untuk mengenal dan mengingat kembali konsep, fakta, dan informasi…. Yah sekadar tahu dan ingat saja. Semacam proses menghafal…”
“Wah, kalau saya lebih banyak yang tidak paham dan tidak ingat, Pak…”
“Yang kedua, Pemahaman. Ini lebih tinggi dari pengetahuan, karena sudah ada proses berpikir. Murid harus mampu memahami dan menangkap makna dari informasi dan konsep yang dipelajari. Ini dapat diketahui dari kemampuan murid untuk menjelaskan, membedakan dengan konsep yang lain, memberikan contoh, dan lain sebagainya.” Ujar Pak Ruslan berhenti sejenak.
“Lalu yang ketiga, Penerapan. Nah, dalam hal ini murid dituntut mampu menerapkan atau menggunakan konsep atau informasi yang dipahaminya untuk hal-hal atau situasi yang baru. Yang jelas murid tahu bagaimana memanfaatkan konsep itu untuk hal-hal nyata...”
“Duh, masih tiga lagi. Saya mulai pening nih…”
“Keempat, Analisis. Ini tentu lebih sulit lagi. Murid harus mampu memerinci atau menguraikan suatu konsep dalam bagian-bagian atau unsur-unsurnya, hingga struktur keseluruhannya dapat dipahami dengan lebih baik. Yang kelima, Sintesis: kemampuan untuk memadukan, mengkategorikan dan mengkombinasikan suatu unsur konsep hingga tersusun suatu pola atau struktur yang jelas,” urai Pak Ruslan. “Bagaimana? Paham? Mulai sulit ya….”
“Paham sih paham, tapi mulai memusingkan…” wajah Bu Ilham benar-benar manyun.
“Tinggal satu…. Keenam, Evaluasi. Ini adalah kemampuan kognitif tertinggi, dimana murid mampu menilai, membentuk pendapat tentang suatu konsep, gejala atau informasi, dengan kriteria tertentu. Hebat kan?”
“Iya, Pak. Hebat sekali…. begitu hebatnya sampai perut saya mulai dan harus segera… pulang. Saya pengin ke WC….” Setelah mengucapkan salam, Bu Ilham langsung pergi setengah berlari.
Pak Ruslan dan Bu Ruslina hanya bisa melongo. |

Sumber Gambar : anneahira.com

Powered by Blogger.
close