Dunia Sekolah : Tujuan Belajar (3)
RUA Zainal Fanani
Ada
yang terus mengganjal di hati Bu Ilham. Semakin sering berdiskusi dengan Pak
Ruslan, semakin penasaran untuk mengetahui lebih banyak lagi. Hingga mendorong
Bu Ilham untu bersilaturahmi kembali ke rumah Pak Ruslan. Seperti sore ini…
“Maaf,
Pak Ruslan, saya mengganggu lagi. Soalnya, yang kita obrolkan kemarin, terus
terang lho Pak, saya masih bingung….”
Pak
Ruslan yang sedang menyirami bunga kesayangannya pun tersenyum. “Silahkan saja Bu. Tapi saya mohon maaf, kita
ngobrolnya di sini, sambil menyirami tanaman. Bu Ilham kan juga tahu, ini
b\hobi saya...”
“Oh nggak papa, Pak.
Malah nyantai dan nyaman di sini….” Bu Ilham kemudian duduk di kursi bambu
yang dibuat Pak Ruslan di taman itu. “Pak Ruslan memang kreatif. Taman
kecil ini terlihat indah,” pujinya.
“Waduh, mulai merayu ni ye…. Saya
malah kagum pada semangat belajar Bu Ilham yang begitu menggebu-gebu…”
Bu Ilham memonyongkan
bibirnya. Tampak lucu sekali. “Menggebu-gebu kan memang watak saya…,” sergahnya
sambil menunjukkan jempol tangan kanannya.
Pak Ruslan
terkekeh. “Nah, sekarang apa yang mau ditanyakan? Apa langsung dilanjutkan saja
pada ranah berikutnya? Yang kemarin kan kita ngobrol tentang ranah kognitif.
Seingat saya, saya sudah menguraikan satu-per satu…”
“Aduh,
jangan dilanjutkan dulu, Pak. Saya minta Pak Ruslan memberi contoh-contoh, biar
saya benar-benar paham… ya Pak ya….” Rajuk Bu Ilham dengan wajah lucu. “Maklum,
murid yang satu ini agak telmi, Pak.”
“Baiklah
kalau begitu. Kita mulai dari
tingkatan pertama dari ranah kognitif. Masih ingat?”
“Jelas
masih! Pengetahuan kan? Cuma saya belum paham maksudnya...”
“Nah,
ini contoh yang baik dari tingkat pengetahuan. Bu Ilham tahu dan hafal, tapi
belum betul. Di sekolah hal ini juga sering terjadi. beberapa murid kalau
disuruh menjawab pertanyaan bisa menjawab karena hafal. Soalnya pun mungkin
hanya soal hafalan saja, tidak membutuhkan pemikiran lebih mendalam. Berarti,
guru memang hanya mengacu pada tujuan ranah kognitif tingkat terendah;
pengetahuan…”
“Contohnya?”
“Contohnya,
guru meminta murid-muridnya untuk menghafalkan nama-nama ibu kota negara,
nama-nama sungai, rukun iman, rukun Islam, dan sebagainya. Jadi kalau anak kita
hafal ini-itu, jangan gembira dulu, mungkin saja ia tidak terlalu paham…”
Bu
Ilham mengangguk-anggukkan kepalanya. “Saya mengerti sekarang… gurunya Abror
sering memberi pelajaran yang begitu. Kadang saya juga geli, anak saya hafal
nama-nama pelabuhan. Padahal kalau ditanya pelabuhan itu apa dia tidak
mengerti…. Kalau dipikir-pikir, banyak guru yang mengajar dengan tujuan rendah
ya Pak; ranah kognitif kognitif tingkat pertama…. Atau gurunya sudah
menerangkan panjang-lebar tapi muridnya hanya menghafal saja?”
“Nah,
Bu Ilham sudah menjelaskan, membedakan dan memberi contoh. Itu artinya Bu Ilham
sudah sampai pada ranah kognitif tingkat yang lebih tinggi; pemahaman. Masih
ingat? Pemahaman berarti mampu menjelaskan, membedakan, dan memberi
contoh-contoh. Mengapa tingkat ini dikatakan lebih tinggi? Bu Ilham bisa jawab
pertanyaan saya?”
“Lho,
kan harus mikir, bukan hanya membeo dan menghafal saja. Kalau menghafal
kan yang penting tahu bila ditanya ini ya dijawab ini…. Beda dengan menjelaskan
dan mencontohkan. Kalau saya menjelaskan kepada anak saya Abror, saya kan harus
berpikir bagaimana menerangkannya. Supaya mudah dipahami saya harus memberi
contoh-contoh. Ini jelas lebih sulit dari sekadar menghafalkan dan
mengingat-ingat saja…”
Post a Comment