Izinkan Anak Berbuat “Salah”
Ka’ab bin Malik. Ia salah satu sahabat mulia Rasulullah.
Ia juga pemuka sahabat kalangan Anshor dari suku Khazraj. Berkali-kali ia
membersamai Rasulullah dalam berbagai peperangan, tetapi tidak di perang Tabuk.
Ketika sebagian besar sahabat bersiap untuk perang ini, Ka’ab bin Malik tak
segera melakukan hal yang sama. Pada akhirnya ia memang tertinggal, tak ikut
serta dalam peperangan ini. Karena kesalahan ini, Rasulullah dan
sahabat-sahabat lain mengucilkannya beberapa lama hingga akhirnya Rasulullah
memberi kabar gembira: “Berbahagialah dengan hari terbaik yang engkau jumpai
semenjak ibumu melahirkanmu.” Itulah kabar tentang diterimanya taubat Ka’ab bin
Malik.
Kesalahan dan kegagalan sesungguhnya merupakan
bagian dari perjalanan hidup karena kita memang tidak sempurna. Siapapun bisa
melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan, termasuk sahabat Ka’ab bin Malik
sebagaimana dikisahkan di atas. Bahkan Nabi Adam pun pernah berbuat salah.
Benar sabda Rasulullah sebagaimana diriwayatkan At-Tirmidzi dan Ibnu Majah
bahwa setiap bani Adam berbuat salah dan sebaik-baik orang yang berbuat salah
adalah orang yang bertaubat.
Kesalahan dan kegagalan sesungguhnya melekat pada
proses keberhasilan. Thomas Alfa Edison misalnya. Ia berhasil menemukan lampu
pijar setelah melakukan 9.999 kali percobaan. Kegagalan dan kesalahan tersebut
tidak menjadikannya putus asa. Justeru ia mengatakan bahwa dengan begitu ia
mengetahui ribuan cara agar lampu tidak menyala. Sikap realistis inilah yang
tampaknya menopang kesuksesan Thomas Alfa Edison. Ia menerima kesalahan dan
kegagalan sebagai sesuatu yang wajar dan menjadikannya titik tolak untuk maju
dan berkembang.
Berhati-hati agar tidak melakukan kesalahan dan
khawatir mengalami kegagalan tentu saja wajar. Namun, ketika kekhawatiran itu
sangat berlebihan sehingga menghalangi untuk bertindak apapun, tentu tidak
wajar. Inilah yang mungkin secara tidak sadar dilakukan orang tua yang sangat
protektif kepada anaknya. Lihatlah bagaimana orang tua dengan segera memegang
sang anak yang sedikit terhuyung ketika sang anak baru berlatih berjalan. Lihat
pula bagaimana orang tua segera mengatakan “Nak, jangan pilih warna itu, tidak
cocok, Gunakan yang ini saja” ketika anak belajar mewarnai. Orang tua sering
begitu protektif dan tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk mencoba
berbagai hal dalam proses belajar mereka karena begitu khawatir anak melakukan
kesalahan. Tak disangsikan bahwa perilaku demikian didasari oleh rasa sayang
mereka. Namun, perilaku demikian berpotensi meneguhkan keyakinan pada diri anak
bahwa melakukan kesalahan dan mengalami kegagalan adalah tabu. Akibatnya anak
cenderung menghindari tindakan apapun yang dipandangnya dapat menyebabkan
kegagalan. Akibat selanjutnya bisa diduga bahwa hal itu akan membatasi mereka
untuk berkreasi dan berkembang.
Kesadaran bahwa kesalahan dan kegagalan adalah
manusiawi perlu dimiliki oleh siapapun, termasuk anak. Mendorong dan melatih
anak agar memandang kesuksesan dan kegagalan dalam persektif yang benar penting
dilakukan. Dalam hal ini orang tua berperan penting. Mendorong anak untuk
berhasil tentu saja wajar dan bahkan harus. Namun hal itu perlu diimbangi
dengan meneguhkan anak untuk bersikap realistis untuk menerima kegagalan. Orang
tua juga perlu berbagi pengalaman bahwa tidak setiap tujuan pasti terwujud
meski telah dipersiapkan dengan teliti dan matang.
Di kelas, guru juga berperan penting untuk
menumbuhkan kesadaran dan keyakinan bahwa melakukan kesalahan dan mengalami
kegagalan adalah manusiawi. Bagaimana caranya? Sesekali guru perlu mengisahkan
tokoh-tokoh hebat yang dalam kisah suksesnya juga pernah melakukan kesalahan
dan mengalami kegagalan. Kisah Ka’ab bin Malik dan Thomas Alfa Edison di atas
dapat dijadikan contoh. Guru juga perlu memberikan rasa aman bagi anak untuk
mencoba hal-hal baru dalam proses belajar mereka tanpa kekhawatiran akan
dicerca jika melakukan kesalahan. Guru perlu meyakini bahwa anak akan belajar
dengan cepat jika mereka berada dalam lingkungan yang menerima terjadinya
kesalahan. Guru sebaiknya menghindari komentar atau pertanyaan yang bersifat
negatif seperti: “bagaimana bisa kamu melakukan kesalahan seperti itu?” atau
“kamu tidak mendengarkan saya ya … sehingga bisa salah seperti ini?”
Dalam kegiatan pembelajaran, guru seharusnya
tidak bersegera memberikan rumus formal kepada anak untuk menyelesaikan suatu
soal. Anak perlu diberikan kebebasan untuk melakukan eksplorasi dan menemukan
cara mereka sendiri tanpa khawatir akan dicerca jika melakukan kesalahan. Hal
ini akan mendorong anak berpikir kreatif dengan melihat berbagai kemungkinan
cara menyelesaikan soal. Mungkin saja cara mereka lebih kreatif dan lebih mudah
dipahami, setidaknya oleh mereka sendiri. Namun, mungkin juga anak akan
mengalami kesulitan dan menemui jalan buntu. Terhadap hal ini guru hendaknya
membimbing mereka untuk mengenali kesalahan mereka dan memanfaatkannya untuk proses
belajar mereka. Cara demikian akan memberikan pengalaman dan kemampuan berharga
kepada anak. Pengalaman dimaksud adalah pengalaman menghadapi masalah, bukan
menghindarinya, dan secara bebas berusaha menyelesaikannya tanpa takut gagal.
Pengalaman demikian sangat penting bagi anak mengarungi kehidupannya kelak.
Membelajarkan anak agar menyadari bahwa melakukan
kesalahan dan mengalami kegagalan adalah manusiawi memerlukan proses. Hal itu
perlu dilakukan secara berkelanjutan sehingga anak memiliki perspektif yang
benar dan berimbang dalam memandang keberhasilan dan kegagalan. |
Dr. Ali
Mahmudi, Dosen Matematika Universitas Negeri Yogyakarta.
Post a Comment