Kekuatan Diam



Dikisahkan, sepekan sekali, setiap Kamis, Ibnu Mas’ud r.a. mengajari sekelompok orang. Berkata salah seorang dari mereka, “Wahai Abu Abdurrohman (panggilan Ibnu Mas’ud), apakah Anda mau mengajari kami setiap hari?” Jawab Ibnu Mas’ud, “Sesungguhnya tidak ada yang menghalangiku memenuhi keinginanmu. Hanya saja, aku khawatir akan membosankan kalian, karena akupun pernah meminta yang demikian kepada Nabi SAW dan beliau khawatir membosankan kami (HR. Muttafaq ‘alaih). Kisah ini mengajari kita bahwa apapun yang berlebihan, termasuk berbicara, adalah tidak baik, tidak bijak, bahkan mungkin kontraproduktif.
Dalam setiap aktivitas apapun, jeda, tidak berbicara, atau diam sejenak itu penting dilakukan. Pada situasi tertentu, diam itu menunjukkan kearifan sebagaimana disabdakan Rasululloh, “Diam itu kearifan, tetapi sangat sedikit yang melakukannya”. Diam itu mudah dilakukan. Namun, diam pada saat yang tepat dan untuk alasan yang tepat, tidak selalu mudah. Kesadaran akan pentingnya diam dan pengetahuan mengenai kapan harus diam dan kapan harus berbicara perlu dimiliki oleh siapapun, termasuk guru. Guru perlu memiliki kesadaran bahwa belajar diam yang sama pentingnya dengan belajar berbicara yang baik.
Mengapa guru perlu diam? Guru perlu diam, melakukan jeda, untuk memberikan kesempatan kepada anak untuk berpikir. Bagaimanapun juga, anak memerlukan waktu untuk memahami dan menata pengetahuan yang diperoleh serta menautkannya dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Pada kondisi demikian, anak berkesempatan membangun pengetahuannya secara utuh, yakni pengetahuan yang terjalin dengan baik dengan pengetahuan yang telah dimiliki. Hal demikian sejalan dengan filosofi pembelajaran yang saat ini mengemuka yang lebih berorientasi pada aktivitas siswa. Dalam hal ini, guru perlu memberikan kesempatan dan menciptakan situasi yang mendukung bagi aktivitas siswa dalam membangun pengetahuannya.
Diam sejenak penting bagi guru untuk mengevaluasi atau meninjau apakah cara atau strategi yang digunakan efektif. Dengan diam sejenak dan memberikan kesempatan kepada anak untuk berbicara secara bebas dan mengemukakan kesulitan yang dihadapi merupakan cara yang baik untuk mengetahui kadar kepahaman anak. Dengan cara demikian, guru akan memperoleh pemahaman yang utuh terhadap kondisi anak serta memberikan tanggapan atau tindakan yang tepat terhadap kesulitan atau perilaku anak.
Diam sejenak merupakan salah satu cara untuk menarik perhatian anak. Setelah berbicara beruntun dalam durasi waktu tertentu, guru perlu menciptakan keheningan, Kondisi demikian akan menarik perhatian anak. Pada kesempatan ini, guru dapat memberikan penekanan pada informasi yang penting. Guru juga perlu diam atau menahan diri memotong pembicaraan anak. Meski mengetahui bahwa pendapat anak tidak sesuai, guru perlu memberikan kesempatan kepada anak untuk menuntaskan pembicaraannya. Hal ini merupakan cara yang baik untuk menjaga kepercayaan diri anak. Selain itu, bersegera mengomentari atau mengevaluasi pendapat anak bisa jadi merupakan cara yang efektif untuk mematikan kreativitas anak. Anak cenderung takut untuk berpendapat atau mengemukakan ide-ide kreatif pada kesempatan berikutnya.
Diam dapat merupakan bentuk komunikasi yang kuat. Diam yang disertai gerak tubuh yang santun diyakini lebih cepat meredakan keributan anak dibandingkan dengan bentakan yang keras. Ekspresi wajah juga sangat berperan mendukung peran komunikasi demikian. Konon wajah dapat mentransmisikan lebih dari 250.000 ekspresi berbeda. Diam yang disertai dengan ekspresi wajah dan sorot mata yang mendukung dapat diterjemahkan sebagai bentuk kepedulian, perhatian, kasih sayang, kebahagiaan, atau kebanggan. Seringkali, ekspresi demikian lebih mudah dipahami anak daripada ekspresi verbal yang tidak tepat.
Dalam konteks lebih luas, guru juga perlu diam, tepatnya menahan diri, dari berbicara yang berlebihan, sia-sia, dan tidak pantas. Selain itu, guru juga sebaiknya diam atau menahan diri untuk tidak menggerutu, berkeluh kesah, atau berbicara yang berkonotasi negatif lainnya. Diam demikian diyakini akan menjadikan guru lebih berwibawa dan terhormat. Guru juga seyogyanya diam atau membatasi berbicara yang berkesan sok tahu segalanya. Kiranya tidak tabu bagi guru untuk diam atau mengatakan tidak tahu bila memang demikian kondisinya. Diam demikian merupakan salah satu etika ilmiah.
Demikianlah, sekali lagi, bagi guru, belajar untuk diam sama pentingnya dengan belajar berbicara. Sikap diam yang tepat dapat menjadi teladan bagi anak untuk berperilaku serupa.
Bandung, 23 April 2010
Dr. Ali Mahmudi, Dosen Ilmu Matematika Universitas Negeri Yogyakarta
sumber gambar : siti-muthiah.blogspot.com
Powered by Blogger.
close