Kekuatan Kata Cinta
Seorang anak laki-laki terlihat kesal,
keluar dari gerbang sekolah. Wajahnya memendam marah. Di depannya, anak yang
lain menangis sesenggukan. Tampaknya mereka baru saja berkelahi. Pak Guru yang
tahu berusaha mendamaikan, walau tak mudah. Ini bukan kali pertama, si bocah
itu terlibat masalah dengan kawan-kawannya. Ia memang gampang marah, mudah
tersinggung, dan lebih memilih kekerasan, untuk menyelesaikan masalah.
Anak bertengkar atau berkelahi, itu
biasa. Yang tidak biasa, ketika intensitas terjadinya sangat sering. Ada
sesuatu yang harus dicurigai sebagai biang
kerok ketika anak terbiasa berperilaku temperamental, sering terlibat
persoalan dengan kawan sebaya, atau bahkan teman-temannya tak merasa nyaman
bila berada di dekatnya. Jangan-jangan pelajaran dan keteladanan tentang
“cinta” belum cukup didapatkannya di rumah.
Seorang anak dengan luapan cinta di hatinya,
akan menjadi cahaya bagi siapa saja. Tak mungkin seorang anak “pecinta” mudah terlibat perkelahian, atau menghajar teman
sepermainannya tanpa rasa bersalah. Berkata-kata kasar, mengejek, atau
mengata-ngatai kawan dan orang lain, bukan kebiasaannya. Ia juga bukan sumber
masalah tapi justeru seringkali tampil sebagai juru damai. Karena ada cinta di
dadanya.
Pelajaran tentang cinta sejati
selayaknya didapatkan anak-anak sejak dini di rumah. Bukankah urusan cinta dan kasih menjadi esensi ajaran
dien yang agung ini, bahkan menjadi syarat jika seseorang ingin merasakan
manisnya iman? Cinta sejati adalah cinta karena Allah Ta’ala. Bukan yang lain. Belajar
untuk, mencintai Allah dan Rasul-Nya lebih dari kecintaan
atas apapun. Cinta pada orang tua, kakak-adik, saudara, sahabat, dan yang
lainnya, semuanya dilandaskan karena Allah. Berusaha untuk mencintai mereka
semua karena Allah Ta’ala. Sekali lagi, bukan karena yang lain. Nilai-nilai hakiki
inilah yang selayaknya ditanamkan pada anak, hingga kelak dia tumbuh menjadi
laskar cinta sejati. Bukan menjadi pemuja cinta palsu, apalagi terlarang.
Tentu saja pelajaran tentang cinta harus
diwujudkan dalam keseharian, tidak sekedar berformat ceramah tak berbekas. Agar
anak belajar menemukan cinta dalam kehidupannya, ia harus dibesarkan dengan
kasih sayang dan persahabatan. Ini nasehat klasik Dorothy Law Nolte. If a child lives with acceptance and
friendship, he learns to find love in the world. Apa yang ditemukan anak di
rumah adalah contoh-contoh cinta yang sesungguhnya. Sang ayah mencintai bunda
dengan ketulusan, demikian juga sebaliknya. Kakak sayang sama adik, adik hormat
kepada kakak. Begitu seterusnya, semua dirasakan sebagai manifestasi cinta karena
Allah.
Bahasa yang selayaknya berlaku di rumah
adalah bahasa cinta. Jangan pernah meremehkan kekuatan kata-kata. Apalagi kata
cinta. Kata-kata (bahasa verbal) adalah jenis pesan komunikasi yang paling
mudah menancap dalam hati. Bahasa non verbal, lebih berfungsi sebagai peneguh
bahasa verbal. Kata-kata bisa membangkitkan, atau sebaliknya melemahkan. Bisa
menginspirasi atau malah membenamkan potensi. Sangat mulia contoh dari Sang
Nabi ketika menyatakan cinta pada sahabatnya, sebelum memberi nasihat : “Sungguh,
aku mencintaimu karena Allah !” Cinta
sejati karena Allah-lah yang membuat para sahabat Rasul dari kalangan Anshar
bersedia berbagi apa saja pada saudaranya dari kalangan Muhajirin. Tanpa
dihitung-hitung untung ruginya. Dan..mereka terbiasa serta diajarkan untuk
saling menyatakan cinta.
Kepada anak-anak pun, pernyataan cinta
menjadi kebutuhan. Tak usah malu, untuk memangku si kecil yang sedang beranjak besar sambil membisikkan: “Mas, Ayah dan Bunda cinta kamu karena Allah.” Sebagai ungkapan
penghargaan atas usaha kerasnya untuk belajar menjaga shalat berjama’ah 5 waktu di masjid misalnya. Atau : “Mbak, sungguh Abi dan Ummi sayang banget
sama kamu, karena kamu udah menjalankan perintah Allah. Pasti Allah juga sayang
sama Mbak…!” sebagai ungkapan tulus atas usaha puteri tercinta kita yang
terlihat sungguh-sungguh untuk mengenakan busana muslimah. Kata-kata sejenis
yang menunjukkan ungkapan cinta selayaknya sering diperdengarkan di
“baiti-jannati” kita. Bukan kata-kata yang mengobarkan permusuhan, menyiutkan
nyali, atau bahkan menghancurkan jati diri. Kebiasaan memarahi, menyalahkan,
membentak, atau sekedar menyindir yang memojokkan, jauh dari bahasa cinta.
Anak yang tahu jika dirinya dicintai
secara tulus, akan memiliki pandangan yang positif terhadap dirinya. Pernyataan
cinta akan menguatkan konsep diri, sekaligus memberi kekuatan yang
menggerakkan, agar kelak mereka juga berbuat
serupa: mencintai saudaranya karena
Allah. Semoga anak-anak kita menjadi generasi penuh cinta, karena Allah tentu
saja. Amin Ya Rabb !
Dr. Subhan Afifi, M.Si. Dosen Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta, Pimpinan Redaksi Majalah Fahma.
sumber gambar : muhammadwise.wordpress.com
Post a Comment