Kesalahan Lazim Orangtua dalam Mengasuh Anak
Anak adalah amanah Allah Subhanallah Wa Ta’ala. Agar kita amanah,
kita perlu tahu apa kesalahan-kesalahan yang biasa dilakukan orangtua ketika
mengasuh anak sehingga dapat menghindarinya. Setidaknya ada 6 kesalahan yang
biasa dilakukan oleh orangtua, yaitu :
Pertama tidak konsisten. Konsistensi atau keajegan adalah kunci
penting dalam mengasuh anak. Orangtua seringkali tidak konsisten dalam mengasuh
anak mereka, terutama terkait dengan penerapan aturan. Misalnya, suatu saat
ketika anak tidak shalat orangtua memarahi anak, tetapi di saat yang lain anak
dibiarkan saja ketika tidak mengerjakan shalat. Contoh lain, orangtua
mengatakan akan menghukum anak ketika anak shalatnya main-main, tetapi ketika
anak benar-benar shalatnya main-main tidak dihukum. Ketidakkonsistenan dalam
menerapkan aturan kadang juga terjadi karena perbedaan penerapan aturan antara
ayah dengan ibu. Misalnya ketika bersama ayah anak dihukum ketika melanggar
aturan, sedangkan ketika bersama ibu anak tidak dihukum meskipun melanggar
aturan. Ketidakkonsistenan ini akan menyebabkan kebingungan pada anak. Anak
menjadi binggung, ”perilaku apa diperbolehkan dan tidak diperbolehkan.”
Kedua
tidak memberikan
teladan. Semua orangtua
pasti menginginkan anaknya berperilaku baik, bahkan seorang penjahat ingin
anaknya berperilaku baik. Akan sulit bagi orangtua untuk mendapatkan anaknya
berperilaku baik ketika dirinya tidak memberikan contoh nyata pada anak. Hal ini
dikarenakan ”meniru” adalah cara belajar yang sejak bayi dikaruniakan pada
Allah Subhanallah Wa Ta’ala pada
seorang anak manusia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bayi yang tuli, tidak
mampu mengoceh karena ia tidak mampu mendengar suara manusia, bayi yang tuli
tidak mampu meniru pembicaraan orang
dewasa. Selain itu, perkembangan kognitif anak yang belum mampu berpikir
abstrak, tidak akan mampu mencerna kata-kata tetapi mampu mencerna perilaku
yang nyata. Oleh karena itu, perilaku orangtua cara paling efektif membentuk
perilaku anak daripada ribuan kata nasehat.
Ketiga
tidak menspesifikkan
perilaku buruk anak. Seringkali
ketika orangtua mendapati anaknya berperilaku buruk, hanya mengatakan jangan
”nakal”. Kata ”nakal” adalah kata yang membingungkan anak, bahkan jika orangtua
ditanya apa arti ”nakal” orangtua juga akan mengalami kesulitan untuk
menjelaskannya. Kata ”nakal” merupakan kata yang memiliki variasi perilaku yang
sangat luas, kata nakal biasanya digunakan untuk menggambarkan perilaku mulai
dari perilaku usil sampai dengan perilaku membahayakan nyawa orang lain. Arti
kata ”nakal” yang luas akan sulit dipahami oleh anak. Sebaiknya orangtua
menghindari penggunaan kata ”nakal” untuk memperbaiki perilaku anak. Misalnya
ketika anak memukul temannya, orangtua dapat menggunakan kata”memukul teman”
untuk menggantikan kata ”nakal” dalam memperbaiki perilaku anak. Penggunaan
kata yang spesifik akan diterima jelas oleh anak dan orangtua juga menjadi
lebih fokus dalam memperbaiki perilaku anak.
Keempat
tidak serius untuk
menangani perilaku buruk anak. Hampir semua orangtua menginginkan anaknya berperilaku baik, tetapi sangat
sedikit orangtua yang berusaha secara serius memperbaiki perilaku buruk anak.
Hal ini dapat dikarenakan kurangnya waktu yang dimiliki oleh orangtua untuk
memperhatikan perilaku anak ataupun karena ketidaktahuan orangtua mengenai
bagaimana cara memperbaiki perilaku anak. Usaha serius orangtua dalam
memperbaiki perilaku anak dapat dilihat dari apa yang dilakukan oleh orangtua
untuk menghentikan perilaku buruk anak. Orangtua yang serius pertama-tama akan
menetapkan perilaku buruk apa yang akan diubah (misalnya: memukul teman),
setelah itu orangtua akan mencari tahu sebab anak melakukan hal tersebut, menyusun
cara/metode untuk menghentikan perilaku tersebut, menerapkannya, dan kemudian
mengevaluasi cara/metode yang digunakan. Hal ini sangat jarang dilakukan
orangtua, yang paling sering dilakukan oleh orangtua adalah marah/menasehati
anak ketika anak berperilaku buruk, nasehatpun kadang cuma sesekali dilakukan
oleh orangtua.
Kelima
terlalu berlebihan
dalam merespon perilaku anak. Orangtua kadangkala tidak memahami tahap perkembangan anak sehingga dalam
mendidik perilaku anak menggunakan standar orang dewasa, sehingga yang terjadi
kemudian adalah anak dituntut orangtua untuk berperilaku seperti orang dewasa. Tuntutan
yang terlalu tinggi ini akan membuat anak tertekan, sehingga bukannya anak
menjadi berperilaku baik, tetapi malah berperilaku buruk karena stress dengan
tuntutan orangtua. Misalnya, anak usia prasekolah dituntut oleh orangtua untuk
selalu duduk manis, tidak boleh berlarian, tidak boleh naik-naik meja/pohon.
Contoh yang lain, anak usia sekolah SD sudah dituntut untuk mampu bekerjasama
dengan teman-temannya, dituntut untuk memahami teman-temannya. Seorang remaja
SMP dituntut untuk tidak terpengaruh temannya, ini juga sebuah tuntutan yang
akan sulit dipenuhi oleh remaja. Oleh karena itu, orangtua perlu memahami
perkembangan anak sehingga tidak berlebihan dalam merespon perilaku anak.
Keenam memiliki harapan yang tidak realistis
terhadap anak. Orangtua
yang tidak memahami karakteristik anaknya seringkali memiliki harapan yang
tidak realistis terhadap anak. Orangtua lupa bahwa anaknya merupakan pribadi
unik yang tidak bisa dibandingkan dengan orang lain. Anak yang banyak aktivitas
(overaktif) akan tidak realistis bila diminta untuk diam, sebaliknya anak yang
pendiam tidak realistis jika diminta untuk banyak beraktivitas. Sebagian
orangtua di Indonesia pada khususnya memiliki anggapan anak yang baik adalah
anak yang pintar dan menurut, sedangkan anak yang pintar tapi kritis dianggap
anak yang nakal/bermasalah. Sebagian orangtua juga menganggap bahwa anak yang
pandai adalah anak yang kemampuan akademiknya baik, sedangkan anak yang punya
kemampuan di bidang yang lain dianggap bodoh bila kemampuan akdemiknya tidak
baik. Ini artinya banyak dari kita sebagai orangtua tidak mampu memahami dan menghormati
karakteristik anak yang unik. Allahu’alam bis shawab. ||
Dr. Hepi Wahyuningsih,
Dosen Fakultas Isipol Universitas Islam Indonesia.
Post a Comment