Maksimalisasi Pengasuhan, Minimalisasi Toleransi
Sejumlah permasalahan
remaja masa kini kian hari semakin memprihatinkan. Persoalan seks bebas, selain
Narkoba dan HIV/AIDS (Virus yang menyebabkan penyakit dengan sindrom utama
berupa menurunnya kekebalan tubuh), ditegaskan Badan Kependudukan dan Keluarga
Berencana Nasional (BKKBN) menjadi masalah utama remaja di Indonesia. Laporan
Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia pada tahun 2007 dan laporan
Kementrian Kesehatan Republik Indonesian tahun 2009 mengingatkan kita semua
untuk segera melakukan langkah-langkah strategis, penuh kesungguhan, dan
sistemik: perilaku seks bebas bukanlah sesuatu
yang aneh dalam kehidupan remaja Indonesia, sebanyak
35,9 persen remaja punya teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual
sebelum menikah dan sebanyak 6,9 persen responden telah melakukan hubungan
seksual pranikah.
Remaja awal, sebagian
besar ahli menyebutnya dimulai usia 12 tahun, sebagian lagi mulai usia 11
tahun, ada juga mulai 9 tahun, merupakan periode periode penting terkait
perilaku beresiko. Pada periode ini banyak perilaku berisiko pertama kali
muncul atau bahkan mulai terjadi perluasan, seperti penyalahgunaan NAPZA
(Narkotika, Alkohol, Psikotropika, dan Zat Adiktif {Kecanduan}), dan kegiatan seksual
beresiko (Miller dkk., 2001; penelitian Small
& Luster, 1994; penelitian Chewning & Koningsveld, 1998; penelitian
Whitbeck dkk., 1999).
Masa remaja awal juga
berhubungan dengan tantangan-tantangan perkembangan baru yang harus dikelola
oleh remaja dan keluarga seperti peralihan dari sekolah dasar ke sekolah
menengah pertama. Selain itu munculnya tekanan-tekanan baru terkait
pubertas (masa ketika seorang anak mengalami perubahan fisik, psikis, dan pematangan fungsi seksual, pada wanita ditandai dengan menstruasi pertama (menarche), sedangkan pada laki-laki
ditandai dengan mimpi
basah). Pada masa ini pengaruh teman
sebaya, kecemasan terhadap penerimaan teman sebaya, dan pembentukan kelompok
sebaya yang menyimpang mengalami peningkatan.
Monitoring dan supervisi
orangtua mencegah anak-anak berhubungan dengan teman sebaya yang menyimpang
(misalnya penelitian Dishion dkk., 1991; penelitian Oxford dkk., 2001), pintu
masuk utama dan pertama bagi kemunculan dan meluasnya perilaku beresiko tinggi
pada remaja. Tingginya tingkat konflik dalam keluarga dan buruknya keterampilan
komunikasi keluarga mengganggu pengasuhan dan hubungan dalam keluarga,
menurunkan rasa aman dan kompetensi sosial emosi anak-anak, sekaligus
memperkuat praktek-praktek agresi (perilaku fisik dan atau lisan yang mengancam
atau merugikan diri sendiri dan atau orang lain) dan permusuhan antar pribadi. Pengasuhan yang
efektif (menyayangi, mendukung, disiplin yang jelas dan ajeg) memperkuat
perilaku yang baik dan memperkecil resiko perilaku menyimpang remaja.
Perilaku beresiko tinggi
seperti seks bebas, HIV/AIDS, dan narkoba sering disebabkan kita, orangtua,
guru, dan masyarakat semakin permisif (serba membolehkan) dan bersikap toleran
terhadap perilaku-perilaku dan sikap-sikap yang merupakan pintu masuk pertama
dan utama bagi munculnya permasalah tersebut. Ketika anak-anak kita,
murid-murid kita, cucu-cucu kita semakin jarang melihat orangtuanya, gurunya,
dan lingkungan sekitarnya mengingatkan mereka bahwa pacaran itu perbuat keji,
pacaran itu perbuatan hina lagi tercela, dan pacaran itu perbuatan yang
mendekatkan kepada zina, maka jangan heran, jangan kaget, dan juga jangan marah
ketika mereka terjatuh ke dalam permasalahan tersebut.
Sebaliknya, jika kita bisa
memperbaiki kualitas komunikasi dengan anak-anak kita, murid-murid kita,
melakukan pengasuhan dan pengawasan yang efektif, dan menetapkan batasan yang
jelas, tegas, dan ajeg, maka insyallah kita bisa mencegah sedini mungkin
perilaku-perilaku beresiko tinggi.
“Ya Allah, limpahkanlah
keselamatan, rahmat, dan keberkahan kepada anak-anak kami, murid-murid kami.”
Irwan
Nuryana Kurniawan
Dosen
Prodi Psikologi Universitas Islam Indonesia
Post a Comment