Menanamkan Karakter di Usia Emas




Dalam sebuah acara santai, seorang ibu mengeluhkan tentang kondisi anaknya yang masih sekolah di TK kelas Nol Besar. Sang ibu begitu khawatir bagaimana nanti kalau di SD, karena sampai saat ini anak kesayangannya belum bisa membaca maupun menulis dengan lancar. Padahal zaman sekarang, kelas 1 SD sudah begitu banyak pelajarannya dengan buku paket yang sangat tebal.
Kekhawatiran ibu tadi sudah lumrah terjadi di masyarakat kita saat ini. Tapi anehnya, mereka tidak khawatir ketika anak yang masih imut tadi mulai berani berbohong, berkata kasar, membantah perkataan orang tua dan menyakiti temannya. Maka, banyak di antara orang tua kemudian rela mengeluarkan dana yang tidak sedikit agar saat masuk TK sudah pintar membaca dan menulis, sampai berbahasa Inggris. Dengan rela diikutsertakannya anak ke tempat-tempat kursus calistung sehingga kesempatan berinteraksi orang tua dengan anak makin berkurang. Terasa sangat puas dan bangga ketika sang anak berhasil pintar baca-tulis dan berhitung.
Tentu tidak seluruhnya salah, jika orang tua berbuat demikian. Karena semua itu dilakukan juga demi kebaikan sang anak. Namun yang sering terlupakan adalah bagaimana mendidik anak di usia yang sangat berarti ini, yang diistilahkan sebagai usia emas (0–5 tahun) dengan menanamkan karakter, menanamkan akhlak mulia.
Jika memang benar usia 0–5 tahun adalah usia emas, di mana anak begitu cepat perkembangan otaknya, begitu dahsyat daya tangkapnya, maka mengapa tidak kita optimalkan juga untuk menanamkan karakter mulia? Bukankan pada dasarnya setiap anak terlahir fitrah, maka orangtuanyalah yang akan berperan menuliskan dan membentuk menjadi anak yang tetap pada fitrahnya ataupun sebaliknya. Orangtualah, sebagai guru pertama yang akan menjadikan anak menjadi anak yang mulia dan sholih atau sebaliknya.
Sebagai orang tua tentu berharap anaknya kelak menjadi sumber “mata air amal” yang akan terus mencurah, meski orang tua telah meninggal dunia. Maka mulailah dari sekarang, mulai dari keluarga sendiri untuk menanamkan karakter kebaikan kepada sang anak. Ajaklah anak untuk mengenal Allah, Tuhan Sang Pencipta, dengan nasihat dan teladan melaksanakan ibadah keseharian. Ajarkan dan bimbinglah anak untuk shalat, baca Alquran, berdoa sebelum memulai aktifitas, bersyukur atas nikmat-Nya. Bimbinglah anak untuk taat dan hormat kepada yang lebih tua, dan saling mengasihi dengan sesama. Ucapkanlah salam ketika bertemu atau berpisah dengan anak, awalilah dengan kata “ tolong” ketika akan meminta bantuan, ucapkanlah “ maaf “ jika melakukan kesalahan, dan ucapkan “ terimakasih “ jika diberi sesuatu. Lakukan semua itu secara konsisten di depan anak. Lakukanlah dengan sabar, karena menanamkan akhlak jauh lebih rumit dari sekadar mengajari membaca, menulis, dan menghafal. Iringilah setiap usaha mulia ini dengan doa yang tulus kepada Allah Ta’ala. Bukankah hanya Allah saja yang kuasa membolak-balikkan hati mamba-Nya?
Semoga sebagai orang tua, kita bisa menjadi orang tua yang berkarakter. Dan akhirnya bisa melahirkan anak-anak berkarakter. Anak-anak yang tidak sekadar pinter (pandai) tetapi juga bener (sholih). Ingat, betapa banyak orang pintar dan jenius di negeri ini, namun sikap dan tingkahlakunya sama sekali tidak mencerminkan kesholihan. Lihatlah para pejabat yang terbelit kasus korupsi. Bukankah mereka adalah orang-orang yang jauh lebih berpendidikan daripada kita? Namun gelar akademik yang berderet tersebut ternyata tidak menjamin bisa diimbangi dengan kesholihan dan akhlak yang mulia. Semoga di usia emas anak ini, kita bisa membimbing dan membersamai anak-anak untuk menjadi generasi yang berkarakter, yang mampu menyeimbangkan kecerdasan akademik dengan kecerdasan akhlak dan moral. Amin….[]
Sumadi,
Pembelajar di IBS Darul Hikmah Sleman,
Wali Murid SDIT Salsabila 2 Klaseman
sumber gambar : anak-anak.org

Powered by Blogger.
close