Pembelajaran Berbasis Masalah
Mengawali kegiatan pembelajaran, seorang guru mengajukan
masalah sebagai berikut. Sepasang suami isteri yang sangat sibuk mempunyai
orang tua yang telah lanjut usia. Karena alasan kesibukan dan kekhawatiran
tidak dapat merawat dengan baik, mereka bermaksud mengirim orang tua mereka ke
panti jompo. Namun, mereka ragu atas keputusan itu. Bagaimana pendapatmu?
Selanjutnya guru mengembangkan aktivitas diskusi yang mendorong siswa untuk
secara bebas memberikan tanggapan terhadap masalah tersebut dari berbagai cara
dan sudut pandang.
Dalam rangka menjawab pertanyaan tersebut, siswa didorong
untuk melakukan penyelidikan dengan memanfaatkan berbagai sumber yang relevan,
seperti buku, koran, majalah, Al-Qur’an, hadits, atau lainnya. Melalui
aktivitas tersebut yang dipandu oleh proses diskusi yang terarah diharapkan
siswa akan memperoleh pengetahuan, seperti pengetahuan tentang pandangan agama
terhadap hubungan anak-orang tua, pengetahuan tentang panti jompo beserta
aktivitasnya, kebijakan pemerintah terkait hal ini, pandangan masyarakat
terhadap keberadaan panti jompo, dan sebagainya. Pengetahuan demikian lebih
bermakna bagi siswa karena diperoleh bukan dari pemberitahuan guru, melainkan
dibentuk oleh siswa sendiri melalui aktivitasnya dalam menyelesaikan masalah.
Pembelajaran yang dilakukan guru di atas dapat
dikategorikan sebagai pembelajaran berbasis masalah (problem based learning),
yakni pembelajaran yang menjadikan masalah atau kasus sebagai pemicu (trigger)
bagi proses belajar siswa. Berbeda dengan pembelajaran pada umumnya yang
menjadikan masalah sebagai penerapan dari konsep, pembelajaran berbasis masalah
justeru menempatkan masalah di awal pembelajaran sebelum siswa mempelajari
pengetahuan formal. Berdasarkan pengetahuan yang dimiliki, siswa
mengidentifikasi informasi yang diketahui dan diperlukan untuk menyelesaikan
masalah tersebut, melakukan penyelidikan, menganalisis, menyimpulkan, dan
mengevaluasi simpulan tersebut. Melalui aktivitas demikian, siswa diharapkan
dapat memperoleh pengetahuan yang relevan dan sekaligus dapat mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah. Sangat dimungkinkan, pengetahuan yang dibentuk
oleh siswa masih bersifat informal yang belum sesuai dengan pengetahuan formal.
Namun, melalui proses diskusi yang terarah, pengetahuan tersebut akan lebih
terkonsolidasi dan sesuai dengan pengetahuan formal.
Pembelajaran berbasis masalah didasarkan atas pandangan
bahwa belajar merupakan proses aktif siswa dalam membangun pengetahuan melalui
interaksinya dengan masalah atau konteks yang sesuai. Siswa dapat mempelajari
substansi materi pelajaran secara efektif melalui aktivitasnya dalam
menyelesaikan masalah terkait substansi materi tersebut. Sekali lagi, masalah
tersebut tidak ditempatkan pada bagian akhir proses pembelajaran sebagai
penerapan konsep, melainkan ditempatkan di awal pembelajaran sebagai pemicu
proses belajar siswa. Pembelajaran berbasis masalah juga didasarkan pada
filosofi bahwa sekolah hendaknya menjadi laboratorium bagi siswa untuk mengenal
masalah nyata dalam kehidupan sehari-hari dan sekaligus mengembangkan kemampuan
untuk menyelesaikannya.
Pembelajaran berbasis masalah tidak dimaksudkan untuk
menyampaikan sejumlah besar informasi kepada siswa, melainkan lebih dimaksudkan
untuk mengembangkan kemampuan berpikir, kemampuan pemecahan masalah, dan
mendorong siswa menjadi pebelajar mandiri. Kemampuan demikian dipandang lebih
diperlukan siswa untuk menyelesaikan masalah dalam berbagai bidang. Demikian
juga, kemandirian belajar siswa sangat diperlukan siswa untuk mengidentifikasi
berbagai kebutuhan belajarnya dan mengidentifikasi serta mencari berbagai
sumber belajar yang mendukung.
Penggunaan masalah untuk memicu proses belajar siswa
merupakan karakteristik utama pembelajaran berbasis masalah. Masalah yang
digunakan hendaknya realistis bagi siswa. Perlu dicatat bahwa suatu masalah
yang realistis bagi sekelompok siswa tertentu belum tentu sesuai untuk kelompok
siswa lainnya. Misalnya, masalah yang realistis bagi siswa di perkotaan belum
tentu realistis untuk siswa pedesaan, demikian pula sebaliknya. Masalah
tersebut juga harus bermakna bagi siswa, yakni berkaitan dengan substansi
materi yang akan dipelajari. Selain itu, hendaknya masalah juga bersifat
terbuka, dilematis, dan kompleks. Masalah demikian dapat memicu keingintahuan
siswa dan mendorong mereka mengembangkan kemampuan berpikirnya. Tentu saja
masalah tersebut juga harus sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
Disadari bahwa tidak mudah mempraktikkan pembelajaran
berbasis masalah. Tidak mudah menemukan masalah kontekstual yang menarik dan
tidak mudah pula mengelola pembelajaran yang memanfaatkan masalah tersebut
sebagai pemicu proses belajar siswa. Selain itu, tidak mudah pula mengubah
budaya guru yang cenderung mengambil peran dominan sebagai penyampai informasi
menjadi fasilitator yang memfasilitasi proses belajar siswa. Namun, karena
berbagai manfaat yang dimiliki, pembelajaran ini perlu dipraktikkan atau
setidaknya dijadikan sebagai variasi dari proses pembelajaran yang biasa
dilakukan, sehingga terwujud pembelajaran yang lebih bermakna. ||
Dr. Ali Mahmudi, Dosen Ilmu Matematika Universitas Negeri Yogyakarta
sumber gambar : aris-berbagi.blogspot.com
Post a Comment