Belajar dari Kehidupan Keluarga Nabi Muhammad
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, Allah Subhanahu wa ta’ala menawarkan kepada kita prinsip-prinsip hidup
yang terbukti mengantarkan keluarga Nabi Muhammad meraih kebahagiaan sejati di
dunia sekaligus di akhirat. Prinsip-prinsip yang juga insyaallah bisa mengantarkan keluarga kita kepada kebahagian sejati
sebagaimana Keluarga Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam
jika kita mau bersungguh-sungguh belajar menerapkannya.
Dimulai dari Alquran Surah Al
Ahzâb ayat 28-29, keluarga Nabi Muhammad Shallallahu’alaihiwasallam
memilih lebih mengutamakan Allah Ta’ala,
Rasul, dan kehidupan akhirat dibandingkan kehidupan dunia dengan segala
perhiasannya. Kepastian mendapatkan kecintaan, keridhaan, dan pahala berlipat
ganda dari Allah Ta’ala karena lebih
mengutamakan apa yang ada di sisi Allah dan Rasul-Nya membuat keluarga Nabi Muhammad
Shallallahu’alaihiwasallam lebih
mampu untuk bersabar dan qana’ah (rela menerima) apa pun yang ditetapkan Allah Ta’ala kepada mereka. Tetap bersyukur,
tersenyum, dan bahagia dalam ‘keterbatasan’ dan tetap bersungguh-sungguh dalam
berbuat kebaikan dan berkarya sebagai bentuk ketaatan kepada Allah dan
Rasul-Nya.
Alhamdulillaahirabbil’aalamiin, pengalaman dan kehidupan
kekinian memperlihatkan kepada kita semua bahwa tidak sedikit orang-orang yang
menjadikan dunia dengan segala atributnya sebagai tujuan hidupnya, kemudian
hampir semua orang sepakat menyebut mereka sebagai orang-orang ‘sukses’ dan
‘bahagia’ dalam kehidupannya, dengan mudah dalam hitungan milidetik mengalami
stress, depresi, dan tidak sedikit pula yang memilih untuk bunuh diri ketika apa
yang mereka ‘usahakan’ tidak berhasil—mungkin juga berhasil tetapi tidak sesuai
target—atau apa yang mereka miliki hilang atau berkurang. Ternyata kesuksesan
dunia dengan segala macam ukurannya tidak mampu menjadikan seseorang
mendapatkan kebahagian yang sejati, tidak mampu menjadi penyangga yang kokoh
ketika seseorang mengalami ‘situasi-situasi yang tidak menyenangkan’ dan tidak
mampu menjadi katalisator bagi seseorang untuk segera bangkit kembali dari
‘keterpurukan’ yang dialami.
Itulah sebabnya mengapa Allah Ta’ala mendorong kita semua untuk
menyandarkan kepada Allah Ta’ala bagi
semua pilihan kegiatan yang kita lakukan—lillaahi
ta’ala, meskipun sesungguhnya Allah Ta’ala
memberikan kita ruang kebebasan memilih untuk apa kita melakukan sesuatu.
Ketika kita memutuskan untuk menikah dengan seseorang, Allah Ta’ala memberikan kita kebebasan
sepenuhnya kepada kita mengapa kita memilih pasangan
tersebut—kecantikan/ketampanan, keturunan, kekayaan, keberagamaan—tapi Allah
Yang Mahatahu lebih suka kita memilih pasangan berdasarkan keberagamaannya.
Temuan terkini menjelaskan
mengapa keberagamaan penting bagi kebahagiaan, kesehatan, dan perilaku sosial
seseorang. Sebagai contoh, Ano & Vasconcelles (2005) menyimpulkan koping
religius yang positif (kerangka pengatasan masalah hidup yang ditawarkan agama
seperti melihat kembali sisi positif dari sebuah masalah, pengatasan masalah
secara berjamaah, dan kepasrahan aktif kepada Tuhan) berhubungan dengan
tingginya kepuasan hidup dan kebahagiaan, dan rendahnya kecemasan dan depresi.
Michael E. McCullough dan Brian L.B. Willoughby (2009) dalam artikel mereka
“Religion, Self Regulation, and Self-Control: Associations, Explanations, and
Implications” menjelaskan mengapa keberagamaan mampu membuat seseorang lebih
bahagia, lebih sehat, dan lebih baik hubungan sosialnya. Mereka menyimpulkan
bahwa agama dapat mementingkan pengendalian diri, agama mempengaruhi bagaimana
sebuah tujuan dipilih, dikelola, dan diperjuangkan, agama memfasilitasi
pengawasan diri, agama mendukung pengembangan kekuatan mengelola diri, dan
agama menetapkan dan mendukung dikuasainya perilaku mengelola diri.
Dr. Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi.
Dosen Psikologi Univerisitas Islam Indonesia
sumber gambar : id.wikipedia.org
Post a Comment