Biarkan Anak Belajar dari Konsekuensi
Haqi kelas 4 SD dan Azam kelas 1. Mereka kakak
adik. Di rumah mereka menghadapi aturan yang sama. Orang tuanya menetapkan
setelah shalat Isya mereka harus belajar dan membereskan perlengkapan sekolah
untuk esok hari. Haqi tergolong anak yang sudah bisa tertib. Setelah Isya ia
belajar kemudian membereskan perlengkapan belajarnya. Di sekolah prestasinya
cukup bagus. Sedang Azam tergolong belum setertib kakaknya. Dengan alasan tidak
ada PR, masih lelah, ia cenderung menunda-nunda tugasnya. Belajarnya belum
mapan. Juga belum terampil menyiapkan perlengkapan sekolahnya. Beberapa kali
ada alat tulisnya yang tertinggal di rumah. Sehingga belajarnya di sekolah
menjadi terganggu. Orang tuanya harus lebih banyak memperhatikan dan terlibat dalam acara
setelah shalat Isya. Agar Azam semakin mapan mengikuti aturan di rumah setelah
shalat Isya.
Dengan konsekuensi anak belajar memutuskan
Orang tua memiliki harapan pada anak-anaknya. Harapan
berupa kebaikan untuk dirinya dan
anaknya. Baik keyakinannya, akhlak atau perilakunya, perbuatannya, cita-citanya,
serta kebahagiaan hidupnya Di masa
sekarang maupun yang akan datang. Di dunia maupun di akhirat. Ya, anak
adalah dambaan orang tua. Keberhasilan anak adalah impian orang tua, sekaligus
keberhasilan orang tua.
Mewujudkan harapan salah satunya dengan menerapkan
peraturan. Dalam peraturan ada harapan. Peraturan inilah yang akan memberitahu
anak bahwa orang tua mengharapkan cara hidup, perilaku, dan perbuatan tertentu
pada mereka. Dengan harapan
dan peraturan ini pula anak akan terarah dan terbimbing hidupnya.
Begitu seseorang telah memutuskan bersyahadat –
mengikrarkan bahwa ’tidak ada sesembahan
yang hak selain Allah, dan Muhammad adalah rasul Allah,’ maka ikrarnya
itu memberikan konsekuensi yang luar biasa. Dengan bersyahadat, maka idiologi,
akhlak, cara hidup, peraturan dan cita-citanya akan berbeda dengan yang tidak
mengikrarkan syahadat. Dengan syahadat,
ia memiliki peraturan yang syar’i. Dan ia paham ada konsekuensi yang akan
diterimanya. Begitu pula sebaliknya, jika ia tidak bersyahadat pasti ada
konsekuensi yang akan diterimanya pula.
Mengikuti peraturan akan mendatangkan konsekuensi
positif. Dan tidak mengikuti peraturan akan mendatangkan konsekuensi negatif.
Dengan pengetahuannya orang akan
memutuskan mengikuti aturan atau tidak. Jika keputusannya baik, akan mendapat
konsekuensi positif. Sebaliknya, jika keputusannya buruk akan mendapat
konsekuensi negatif. Begitu juga halnya pada anak. Peraturan yang diterapkan
untuk anak juga mendatangkan konsekuensi. Jika anak mengikuti aturan akan
mendapat konsekuensi positif. Jika tidak mengikuti aturan anak akan mendapat
konsekuensi negatif. Dengan konsekuensi anak akan belajar memutuskan.
Ada banyak peraturan yang harus dihadapi anak. Dan
ternyata tidak cukup mudah menjadikan anak selalu mentaati aturan. Bisa karena
anak masih kesulitan mencerna dan menerima aturan itu. Bisa juga adanya masalah
psikis yang kurang mendukung anak untuk menerima aturan itu. Agar anak lebih
mudah menerima aturan, perlu penjelasan atau alasan yang perlu disampaikan pada
anak. Penting untuk membuat perincian harapan dari aturan yang ditetapkan, sesuai dengan tingkat usia dan perkembangan
anak.
Paragraf awal mencontohkan orang tua yang
menetapkan aturan agar malam hari setelah shalat Isya anak belajar dan
membereskan peralatan sekolah. Jika anak belajar akan paham dan bisa
mendapatkan nilai yang bagus. Jika tidak belajar menjadi tidak paham dan
mendapatkan nilai jelek. Untuk membereskan peralatan sekolah, bagi anak kelas
satu masih perlu bimbingan detail. Misalnya memasukkan buku sesuai jadwal
pelajaran, pensil, penghapus, bekal minum, mukena ke dalam tas dengan pasti.
Jika anak cenderung menggampangkan tugas menyiapkan perlengkapan sekolahnya, ia
akan menundanya. Bisa jadi lupa. Akhirnya kalau ada peralatan yang tertinggal
ia akan menanggung akibatnya sendiri di sekolah. Itu konsekuensinya.
Jika peraturan telah ditetapkan dan diperjelas
harapannya, maka langkah berikutnya adalah menjelaskan konsekuensi dari
keputusan. Anak akan mendapat konsekuensi positif atau negatif sesuai keputusan
yang diambilnya. Konsekuensi harus
ditegakkan dan konsisten. Dengan begitu anak akan belajar menjadi terampil
mengambil keputusan yang baik. Kecenderungan anak yang mengalami akibat
keputusannya berupa konsekuensi negatif, akan lebih mudah menyadari untuk
memilih keputusan yang baik. Karena ia telah mengalami ketidaknyamanannya, ia
sendiri yang harus bertanggung jawab atas keputusannya. Selanjutnya ia tidak
ingin mengulanginya lagi. Anak akan lebih nyaman mengikuti aturan. Memilih
tingkah laku yang bertanggung jawab. Yang tidak menyusahkan dirinya sendiri.
Anak membutuhkan proses untuk bisa terampil
memutuskan yang baik. Orang tua berkewajiban membimbing anak menjalani berbagai
proses menuju cerdas dan terampil mengambil keputusan yang baik. Semoga anak-anak
kita menjadi generasi yang bertanggung jawab atas keputusannya sendiri. Siap
dengan konsekuensi yang dihadapinya. Dan
yang ideal adalah anak-anak menjadi pribadi unggul yang mampu memutuskan yang
baik dan benar. ||
Asnurul Hidayati, Kepala Sekolah MI Darussalam Selokerto Sleman.
sumber gambar : suaraedukasi.kemdikbud.go.id
Post a Comment