Budaya Berprestasi
Sepekan Masa Orientasi Sekolah
(MOS) bagi murid kelas satu SD membuat para Ibu Guru harus berkeringat dua
kali. Berteriak, berlari, menggendong, dan memeluk. Mengelola anak dalam rangka
memperkenalkan, memberi contoh dan melakukan bersama tentang budaya sekolah. Mereka,
para Guru melakukan dengan penuh kasih sayang dan terasa sangat menikmati.
Maklum, para Guru menghadapi anak-anak yang sama sekali asing dengan dunia
sekolah. Inilah awal mereka memasuki dunia sekolah.
Misalnya memperkenalkan anak
untuk buang air kecil. Pertama ditunjukkan tempatnya. Tidak cukup hanya dengan
menunjukkan denah, melainkan harus didatangi. Ditunjukkan WC mana saja yang
bisa ia gunakan. Diajari adab memasuki WC. Masing-masing anak harus mencoba.
Satu persatu anak diajari dengan detil. Semua harus mencoba adab buang air dengan benar. Hingga
cara mengguyur dan keluar kembali dari WC. Ini baru persoalan WC. Dan semua
persoalan anak di sekolah harus diperkenalkan.
Setelah MOS berlalu, pada pekan
dan bulan pertama kita masih menikmati anak-anak menggunakan WC dengan baik. Sendal
dan sepatu di masjid tertata rapi. Anak antri wudlu dengan teratur. Ini sebuah
prestasi. Prestasi hasil kerja keras para Guru. Tetapi pada bulan keempat kita
mulai menyaksikan; WC tidak sebersih dulu, deretan sendal dan sepatu tidak
serapi dulu, ketika berwudlu anak mulai berebut. Prestasi tidak lagi di puncak.
Semua permulaan memang sulit tetapi menjaga prestasi jauh lebih sulit.
Mari kita buat anak-anak
berprestasi pada proses pendidikan, bukan prestasi pada hasil belajar saja.
Bagi anak-anak usia pra-sekolah dan SD, prestasi yang pertama jauh lebih
penting dari pada prestasi kedua. Prestasi bisa rapi ketika antri. Prestasi
menghentikan permainan ketika bel masuk berbunyi. Prestasi menemukan tempat
sampah ketika harus membuang sampah. Prestasi selalu menyapa dengan salam. Dan
sejumlah prestasi lain yang akan membentuk karakter dan budaya belajar bagi
anak. Kita harus yakin bahwa semua anak bisa berprestasi.Prestasi hasil belajar
juga penting dalam rangka memberi pengalaman sukses.
Ketika anak bisa melakukan
kebaikan karena kita ajari atau kita beri contoh, itu prestasi awal yang harus
kita hargai. Tetapi prestasi yang sebenarnya adalah ketika kebaikan itu sudah
menjadi budaya bagi anak. Kerja kedua inilah yang lebih sulit. Kerja pertama
adalah memperkenalkan, memberi contoh sehingga anak mampu dan mau melakukan.
Kerja kedua adalah membiasakan kebaikan itu, menjadikan kebaikan itu sebagai
bagian dari hidupnya, dan menjadikannya sebagai budaya. Inilah prestasi yang
sebenarnya.
Maka yang penting adalah
bagaimana kita menjadikan kebaikan atau prestasi itu menjadi kebiasaan. Bagaimana
kita mempertahankan prestasi ini. Pertama, jangan beranggapan jika anak sudah
bisa melalukan itu akan terus melakuan sehingga kita merasa sudah lepas
tanggungjawab. Jangan disamakan dengan anak meraih prestasi hasil belajar. Jika
anak sudah dapat nilai sepuluh, ya sudah. Kita harus berpikir, inilah
keberhasilan pertama. Keberhasilan kedua harus bisa diraih.
Kedua, para Guru harus menjadi
contoh dalam melakukan kebaikan atau prestasi. Jangan sampai kecolongan, Guru ketahuan anak dengan
melakukan sesuatu yang kontra kebaikan. Bahkan hanya meremehkan kebaikan
sekalipun. Misalnya karena kerepotan, Guru menyembunyikan sampah (kertas tak
terpakai, misalnya) di suatu tempat. Lebih baik di kantongi atau dimasukkan
dalam tas dan katakan pada anak, nanti akan saya buang di tempatnya. Jika tidak
demikian, (misalnya anak tahu Pak Guru menyelipkan sampah tidak di tempat
sampah) maka akan meruntuhkan bangunan pondasi
prestasi kebaikan.
Ketiga, memberi motivasi dan
apresiasi terus menerus agar anak menunjukkan prestasi. Misalnya di sekolah seminggu
sekali diadakan hari apresiasi. Dalam pertemuan umum disampaikan anak-anak yang
berprestasi malekukan kebaikan selama minggu ini. Ia diminta tampil dan
menerima pin tanda prestasi. Prestasi dalam apa saja, yang kita identifikasikan
sebagai perilaku atau karya kebaikan yang menjadi dasar-dasar terbentuknya
karakter. Untuk ini setiap Guru harus jeli mengamati perilaku dan hasil karya
anak dalam sepekan. Sekolah terlebih dahulu mengidentifikasi dan menyepakati
perilaku dan karya apa saja yang akan di apresiasi. Termasuk prestasi akademis.
Drs. Slamet Waltoyo
Kepala Sekolah MI Al Kautsar, Sleman Yogyakarta
seumber gambar : andi-mulya-maulid.blogspot.com
Post a Comment