Dekat dan Tetap Hormat pada Guru
Anak dekat karena hangat, anak patuh karena
hormat, anak jauh karena takut, anak gaduh karena tidak butuh. Guru adalah
kebiasaannya. Guru adalah pembawaannya.
Dalam sebuah rapat Guru, Pak Amri mengajukan
usul. Demi efektifitas dan kelancaran dalam proses belajar mengajar , saya
mengusulkan. Sebaiknya dibuat aturan
atau sistem yang tegas yang menertibkan siswa di sekolah. Misalnya ketika bel
masuk terdengar, anak harus segera masuk kelas. Ketika guru datang anak harus
sudah rapi di tempat duduk masing-masing. Ketika guru menerangkan anak tidak
boleh bermain. Saya sangat terganggu
ketika sedang ngajar, anak-anak masih bermain, bahkan ngubungi
saya. Demikian usulnya Pak Amri.
Sebenarnya aturan atau sistem yang diusulkan
Pak Amri sudah ada, dan pasti sudah dimiliki setiap sekolah. Di sekolah yang
standar pasti ada pembagian waktu, pasti ada tanda atau bel yang menandai
pergantian waktu. Tapi bagi Pak Amri sistem itu dianggap belum berjalan di
sekolahnya sehingga diperlukan aturan yang tegas. Karena ketika bel masuk
berbunyi anak-anak kelas tiga tidak segera masuk . Ketika Pak Amri datang
anak-anak masih gaduh, belum duduk rapi. Ketika pelajaran berlangsung beberapa
anak masih gaduh.
Kondisi ini tentu membuat Pak Amri tidak
nyaman. Pak Amri menyalahkan penyebabnya
pada aturan sekolah, bahkan pada anak yang tidak mau mematuhi aturan.
Tetapi setelah mendapat konfirmasi dari guru lain Pak Amri mulai menyadari bahwa kondisi itu
bukan kesalahan aturan atau kesalahan anak secara keseluruhan. Meskipun mungkin
ada beberapa anak yang berperilaku sebagaimana tuduhan Pak Amri. Pak Amri
merasa dirinya kurang mampu dalam mengelola anak-anak.
Bukan hanya Pak Amri, semua guru ingin
anak-anak yang dekat dan tetap hormat. Ada Guru yang ingin dekat dengan anak,
bahkan menjadi sangat dekat hingga tidak ada batas hormat. Sangat kompromis.
Ada juga Guru yang gila hormat dengan dibuatnya suasana takut tetapi ia
kehilangan respek anak-anak, termasuk terhadap materi ajar yang diberikan.
Anak dekat dan tetap hormat kepada guru yang
berwibawa. Guru berwibawa tidak diciptakan tetapi diupayakan. Artinya semua
guru bisa menjadi berwibawa. Hanya saja ada yang harus dengan upaya keras dan
ada yang cukup melenggang dan memoles. Kata kunci dari Guru yang berwibawa
adalah; tulus, konsisten, kompeten, dan elegan,
Tidak cukup ruang ini untuk membuka dan
mengulas semua kata kunci. Singkatnya, masing-masing kunci tidak berdiri
sendiri. Tulus, ikhlas adalah awal dari semua kunci. Tulus untuk
melahirkan generasi umat terbaik, tulus menghantarkan anak meraih prestasi
terbaik. Ketulusan akan terbaca anak maka anak pun akan membuka hati,
menerima guru dengan tulus. Konsisten, istiqomah, tidak harus keras tapi
tegas. Ia menguasai aturan (tata tertib sekolah), ia menguasai kontrak belajar
dengan murid, ia menguasai kebiasaan dan
budaya sekolah. Dan ia tampilkan itu semua dengan konsisten dan
tegas. Jangan hanya karena ingin dekat
dengan anak, lalu ia sangat kompromi. Apa yang dimaui anak ia ikuti. Perlu
diingat, selalu saja ada anak yang ingin proses belajar tidak lancar. Ia selalu
mencoba mengalihkan perhatian guru. Jika ini diikuti maka ia kehilangan simpati
dari semua anak yang ingin belajar. Jika
ada kebijakan, ia bisa menjelaskan dengan rasional. Tidak canggung atau ragu.
Misalnya, ketika menjumpai anak berkuku panjang ia menegurnya. Anak menyanggah
dengan bertanya; “Pak apakah kita tidak diperbolehkan berkuku panjang?” Pak
Guru menjawab; “Kayaknya aturannya seperti itu”. Ia ragu karena tidak
menguasai tata tertib. Murid spontan mengecapnya sebagai Guru yang
meragukan.
Kompeten, memenuhi standar kualifikasi. Paling tidak,
apa yang akan ditransfer pada murid ia telah kuasai sebelumnya. Konsep materi
ajar, penerapannya dalam kehidupan sehari-hari, metode dan pendekatan yang
tepat, pemilihan media dan sumber belajar yang sesuai, pemahaman dan
ketrampilan yang diperlukan. Kuasai
terlebih dahulu meskipun hanya satu malam lebihnya, jangan keduluan
murid.
Elegan, inilah tampilan guru berwibawa. Gaya dan kalimat
bicaranya, sikap duduk dan berjalannya, pakaiannya. Tampilannya membuat anak
tidak ragu. Hindari tampil garang atau memelas.
Drs. Slamet Waltoyo, Kepala Sekolah MI Al Kautsar Sleman Yogyakarta
Post a Comment