Dunia Sekolah : Menanamkan Agama
“Bi, kalau Umi membaca koran atau mendengarkan
berita-berita di radio, rasanya kok Umi jadi sedih ya…. Banyak kejadian
aneh-aneh…. Ya korupsi, ibu tega membunuh anak-anaknya sendiri, perzinahan dan
perkosaan di mana-mana, pergaulan bebas, perampokan, penipuan… ih… ngeri…,”
ujar Bu Ruslina di suatu sore.
Pak Ruslan tersenyum. “Yaah, namanya juga koran,
Mi. berita-berita yang seperti itulah yang laku…” ujar Pak Ruslan sambil
menyeruput teh hangat yang disajikan Bu Ruslina.
“Ya, tapi Umi
jadi merasa was-was. Apalagi kalau
Umi memikirkan masa depan Angga. Dia kan amanah Allah. Kita harus mendidiknya
sebaik mungkin…”
Pak Ruslan mengangguk-angguk tanda setuju. “Kita
harus…,”
Tiba-tiba terdengar suara salam yang cukup keras.
Bu Ruslina terlihat agak kaget.
“Aduh, astaghfirullah, muaaaaaaf sekali…
suara saya mengagetkan ya….” Ya suara yang sudah dikenal. Siapa lagi kalau
bukan Bu Ilham. Suaranya keras, nadanya pun khas. “Saya mengganggu lagi ya?”
tanyanya ketika muncul dari balik pintu.
“Kedatangan Bu Ilham selalu kami rindukan….”
Bu Ilham memonyongkan bibirnya. “Beginilah kalau
punya tetangga Bu Ilham. Cerewet, bawel, dan menyebalkan…”
“Itu tidak benar Bu Ilham. Kami sangat senang
punya tetangga yang selalu membuat suasana menjadi meriah, cerdas, dan … peduli
pada dunia pendidikan…,” sergah Pak Ruslan.
Bu Ilham kembali memonyongkan bibirnya. Kali ini
lebih panjang dari biasanya… lucu sekali.
Pak Ruslan dan Bu Ruslina tertawa geli. “Ya inilah
yang selalu kami rindukan dari Bu Ilham. Selalu tampak ceria…”
“Ceria bagaimana? Saya justru sangat sedih kali
ini. Saya buru-buru ke sini memang mau bertanya pada Pak Ruslan. Menurut saya
ini sangat penting…,” katanya sambil duduk di kursi tamu. “Sekarang ini berita
di koran kok ngeri-ngeri ya, Pak. Apa orang-orang yang menjadi pelakunya
itu di sekolahnya dulu nggak menerima pelajaran agama ya Pak?”
Mendengar pertanyaan Bu Ilham, wajah Pak Ruslan
terlihat sangat sedih. “Saya juga prihatin sekali, Bu. Sebagai seorang
pendidik, kondisi masyarakat kita yang seperti ini benar-benar membuat saya
sedih. Kalau soal pendidikan agama, sebetulnya undang-undang pendidikan kita
sudah mewajibkan semua jenjang
pendidikan, dari yang terendah hingga tertinggi untuk memberikan pendidikan
agama kepada para siswanya….”
“”Tapi kok…” Bu Ruslina tiba-tiba memotong. Seperi
memendam ketidaksabaran.
“Betul, Bu. Saya juga sering jengkel. Tidak usah
di koran-koran, di sekitar kita saja banyak kita saksikan hal-hal yang kurang
beres. Banyak yang tidak shalat, kena narkoba, pergaulan bebas, penampilan
remaja-remaja kita yang seronok. Seperti kambing dibedaki. Yang laki-laki
pakaian dan rambutnya acak-acakan, pakai anting-anting segala. Malah saya lihat
ada yang anting-antingnya di hidung. Ini kan generasi hidung sapi…!” seloroh Bu
Ilham sambil memonyongkan bibirnya.
Pak Ruslan dan Bu Ruslina tergelak.
Istilah-istilah yang pergunakan Bu Ilham memang menggelitik.
“Berarti pendidikan agama di sekolah-sekolah tidak
berhasil ya, Pak?” tanya Bu Ilham.
“Yah, melaksanakan pendidikan agama memang tidak
mudah, Bu Ilham. Pendidikan agama kan berbeda dengan pelajaran matematika atau
sains. Pelajaran-pelajaran umum seperti ini kan lebih banyak berhubungan dengan
pengetahuan…”
“Lebih banyak masuk ranah kognitif ya, Pak?”
potong Bu Ilham.
“Subhanallah.
Bu Ilham memang cerdas. Masih ingat
rupanya…,” komentar Pak Ruslan.
Bu Ilham memonyongkan bibirnya. “Ya, ini karena
gurunya yang pintar. Pak Ruslan….!”
Pak Ruslan tersenyum. “Nah, kalau soal pengetahuan
dan hafalan-haafalan, atau sekadar menjawab soal-soal seperti ini tidak terlalu
sulit. Yang tidak gampang ya yang tidak berhubungan dengan pendidikan watak,
kepribadian, agama, dsb. Pendidikan yang baik tidak sekadar mencerdaskan otak,
tetapi juga membangkitkan jiwa. Termasuk di dalamnya jiwa beragama….” Urai Pak
Ruslan.
“Guru-guru agama kita itu bagaimana sih, Bi?”
tanya Bu Ruslina.
“Untuk penanaman agama dan upaya membangkitkan
jiwa seharusnya tidak hanya menjadi tugas dan tanggungjawab guru agama.
Mestinya, ini menjadi sebuah system yang didesain dan dilaksanakan oleh semua
komponen sekolah. Guru agama, karena keterbatasan waktu dan tenaga biasanya
lebih berkonsentrasi pada aspek pengetahuan dan keterampilan keagamann saja…”
“Lho, Pak Ruslan, aspek-aspek dalam pendidikan
agama itu apa saja sih?” tanya Bu Ilham yang tampak penasaran sekali.
“Menurut pendapat saya, khusus untuk pendidikan
agama ada cukup banyak aspek yang harus dikuasai oleh siswa. Pertama,
pengetahuan agama. Ini termasuk ranah kognitifnya. Lalu, kedua, keterampilan
agama, misalnya anak bisa membaca Alquran, bisa melakukan gerakan-gerakan
shalat, wudhu, dll…”
“Yang ini masih mudah diberikan ya, Bi,” ujar Bu
Ruslina.
“Ya. Yang ketiga adalah keyakinan keagamaan. Ini
mulai agak berat. Guru harus mampu meyakinkan para siswanya, sehingga mereka
meyakini banar bahwa ajaran agamanya benar. Ini masuk pada aspek akidah.
Akibatnya, bila sudah yakin, siswa akan bersedia membela dan memperjuangkan
agamanya. Lalu, yang keempat adalah pengamalan agama. Maksudnya, siswa yang
sudah diberi pendidikan agama mestinya dapat melaksanakan ajaran itu dalam
kehidupan sehari-hari. Dia rajin beribadah, akhlaknya bagus, dsb…”
“Nah, yang ini yang paling sulit, Pak.”
“Oh, ada
yang lebih berat lagi, yaitu yang kelima. Orang biasa menyebutnya sebagai rasa
atau penghayatan keagamaan. Banyak orang tampaknya rajin beribadah tapi
ternyata tidak tercermin dalam perilaku dan cara berpikirnya. Orang seperti itu
hanya beribadah sebagai hal rutin, formalitas. Ibadahnya mungkin kurang
terhubung dengan aspek rasa dan kurang dihayati bahwa semuanya terhubung kepada
Allah Swt. kita ini kan seharusnya sadar bahwa Allah senantiasa mengawasi perilaku
kita. Bahkan Allah juga membaca dan mendengar kata hati kita….”
Bu Ilham tampak manggut-manggut mendengarkan
penjelesan Pak Ruslan. “Yah, kalau tugas dan tanggungjawab seberat itu, tidak
masuk akal bila hanya dibebankan kepada satu dua guru ya, Pak. Alhamdulillah,
saya tidak salah pilih. Sekolahnya Abror rasanya sudah berkesadaran seperti
itu. Semua guru dan karyawannya bukan hanya guru, tapi juga ustadz, pendakwah,
dan pemberi contoh. Program-programnya selalu terkait dengan agama. Saya juga
salut. Mestinya semua sekolah seperti itu…,” ujar Bu Ilham.
“Guru-guru di sekolah Abror juga beruntung punya
orangtua dan wali murid seperti Bu Ilham. Cerdas dan peduli…!”
Bu Ilham memonyongkan bibirnya, “Ah, ini ranah
penggombalan…!”
RUA Zainal Fanani, Ketua Yayasan SPA Yogyakarta
sumber gambar : mamabunda.com
Post a Comment