Malu, Motivator Perbuatan Anak
Malu merupakan perubahan yang ada pada diri
seseorang karena takut melakukan perbuatan yang menimbulkan aib. Maka malu itu
akan menjadi faktor stimulus yang melahirkan perbuatan taat dan membentengi
diri dari perbuatan maksiat. Rasulullah menyebutkan bahwa malu adalah bagian
dari iman. Sesungguhnya, begitu erat kaitan antara iman dan malu. Maka orang
beriman pastilah memiliki rasa malu. Dan jika orang itu sudah tidak punya rasa
malu, lalu bagaimanakah imannya?
Malu
itu baik keseluruhannya, begitu kata Rasulullah. Maka malu bukanlah hal
yang harus disingkirkan dalam diri seseorang. Bukan sama sekali. Bahkan kita
mesti mempertahankan rasa malu kita. Jangan sampai malu itu hilang dari diri
kita. Sungguh merupakan aib dan cela bagi seseorang, jika ia sudah tidak punya
rasa malu lagi. Benar sabda Rasulullah, jika malu sudah hilang pada diri
seseorang maka berbuatlah sesukanya.
Ada malu instingtif, ada malu yang 'syar'i.'
Malu yang instingtif merupakan rasa malu bawaan pada setiap orang. Adapun malu
syar'i, berkaitan dengan perkataan Rasulullah, malu adalah bagian dari iman.
Dengan adanya rasa malu, maka seseorang akan terdorong melakukan perbuatan baik
dan meninggalkan perbuatan buruk. Maka seseorang harus berusaha untuk menjadi
semakin baik dengan menjalani petunjuk dari Allah. Dengan malu itu pula maka
seseorang akan terhindar dari martabat kehinaan. Jadi tidak sesuai dengan
syariat, jika seseorang mengatakan, "Ya Allah saya malu untuk mengerjakan
kebaikan."
Anak-anak juga memiliki rasa malu. Tetapi
perlu diingat, malu tidak sama dengan takut. Lawan kata malu adalah tidak punya
rasa malu. Sedangkan lawan kata takut adalah berani. Jadi istilah ini jangan
disalahpahami. Perkembangan rasa malu pada anak harus diarahkan semenjak dini.
Orang tua yang paling utama bertugas
mengarahkan anak-anaknya agar mereka menempatkan rasa malunya dengan tepat atau
adil. Sungguh keliru jika orang tua mengatakan kepada anaknya bahwa malu harus
dibuang atau dihilangkan. Dengan dalih atau alasan bahwa malu dianggap sebagai
penghambat kemajuan.
Perhatikan penggal percakapan berikut. Ini
terjadi ketika Bu Hasna bersama anak-anaknya di halaman rumah. Tiba-tiba ada
sepeda berhenti di depan mereka. Seorang bapak tua berusaha membetulkan
bawaannya. Ada barang yang jatuh tercecer di jalan. Maka Bu Hasna menganjurkan
anak-anaknya,
"Nak, tolong tuh bantu bapak itu!
Kasihan."
Anak-anak memperhatikan bapak itu, namun tak
ada satupun yang beranjak membantunya.
"Mengapa kalian diam saja?" tanya
bu Hasna.
"Malu Bunda. Kan aku belum kenal sama
bapak itu." Jawab Fatih
"Aku juga malu Bunda." Jawab yang
lain.
"Aku nggak berani." Kata yang
lainnya.
Ketika
anak belum mau mengerjakan kebaikan sebagaimana penggal percakapan di atas,
orang tua semestinya memotivasi anaknya agar tumbuh kesadaran dan keberaniannya
untuk bertindak dan berbuat kebaikan. Jika orang tua mengatakan, "Nak,
nggak usah malu ya." Atau "Wah kamu kok malu begitu? Malu-maluin
aja.." Maka perkataan itu mengesankan tanggapan negatif yang kurang
membangun mental anak. Ada situasi yang
dirasakan anak saat itu yang harus dipahami orang tua. Rasa malu si anak perlu
diarahkan secara positif. Akan lebih tepat jika kata-kata itu diubah dengan,
"Nak, malulah kepada Allah karena kamu tidak bersegera berbuat
kebaikan." Atau "Yuk, kita tolong bapak itu bersama. Kasihan
barangnya berjatuhan." Atau
"Kalian bisa berkenalan dulu lalu tawarkan pertolongan kalian. Oke,
ayo Bunda antar." Dan semisalnya, maka anak akan terbimbing untuk bersikap
malu yang lebih baik dan adil.
Maka kita jangan salah menilai. Kadang anak
kita sedang takut, kadang anak kita sedang malu. Jika anak malu untuk
mengerjakan kebaikan, maka motivasilah mereka untuk semangat dan berani
melakukan kebaikan. Jika anak 'tergoda' untuk mengerjakan keburukan, maka
bimbing mereka untuk merasa malu jika mengerjakannya. Ingatkan mereka,
hendaklah takut pada Allah jika mengerjakan keburukan.
Dengan bingkai agama, orang tua mengarahkan rasa malu pada anak-anak agar
berkembang secara positif. Pembiasaan dengan kata-kata yang memperingatkan mereka
ketika berkata atau berbuat tidak baik. Ketika melanggar aturan agama. Saat
bersikap tidak santun. Dan ketika anak merasa malu untuk menjalankan kebaikan
atau perintah agama. Semisal, "Nak,
malulah kepada Allah. Mengapa tak kau kerjakan kebaikan itu?" atau
"Malu. Jangan sampai perbuatan buruk itu kau perbuat Nak." Atau
"Malulah Nak, jaga kehormatanmu dengan menjalankan perintah Allah."
Atau "Ingat, perbuatan baik adalah untuk kebaikanmu sendiri Nak." Dan
sebagainya. Kemudian bermurahhatilah kepada anak dengan memberikan perhargaan
jika anak berhasil bersikap 'malu secara tepat atau adil' sehingga perbuatannya
semakin baik dan semakin shalih.
Semoga kita bisa bersabar dan berhasil
membimbing dan mengarahkan anak-anak kita untuk menjadi generasi terbaik dari
umat ini. Generasi yang bermanfaat dalam
pembangunan peradaban dunia. ||
Asnurul Hidayati, Kepala Sekolah MI Darussalam Sleman Yogyakarta.
foto murid SDIT Hidayatullah Yogyakarta
Post a Comment