Mendahulukan Orangtua atau Guru?
Dalam pertemuan Orang
tua dan Guru Kelas, Bu Munadhiroh mengajukan usul kepada Bu Fathimah selaku
Wali Kelas dua. Katanya; “ Bu Mohon anak saya sering dikasih PR, sebab kalau
tidak ada PR dia tidak mau belajar, terutama Matematika. Sukanya hanya
menggambar terus. Satu lagi Bu, mohon anak
saya diingatkan untuk selalu sholat Ashar dan Subuh, sebab sering terlewat. Kalau
yang nyuruh Bu Guru dia lebih manut,
terimakasih Bu”.
Ungkapan Bu
Munadhiroh hanya salah satu dari sekian banyak Orang tua yang sependapat bahwa
anak-anaknya lebih manut pada Guru
dari pada dengan Orang tuanya. Bahkan informasi dari Guru selalu lebih dipercaya
kebenarannya dari pada informasi yang datangnya dari Bapak atau Ibunya.
Meskipun kedua orang tuanya juga Guru.
Apakah ini berarti
anak merendahkan Orang tua, sehingga derajat Orang tua turun ada dibawah Guru?.
Para Orang tua tidak usah berkecil hati. Ini karena anak sudah menjadikan
sekolah sebagai bagaian utama dalam hidupnya. Sehingga di rumah pun anak masih
berperilaku dalam kontek dunia sekolah.
Dalam dunia sekolah, Guru adalah segalanya.
Sampai di rumahpun akan terbawa. Apalagi jika di rumah Orang tua cenderung bisa di tawar. Maka apa yang dikatakan
Guru akan lebih dipegang.
Memegang kata-kata
Guru, dalam arti menghormati Guru adalah perilaku yang baik. Tetapi menghormati
Orang tua adalah perilaku yang lebih utama. Upaya ini harus dilakukan oleh
sekolah agar anak-anak menomor duakan Orang tua setelah menomor satukan Allah ta’ala. Justru inilah pelajaran
utamanya . Sebab jika point ini gagal, gagallah semua upaya pendidikan dengan
segala pernak-perniknya di sekolah.
Sebab berbakti kepada Orang tua adalah perintah Allah ta’ala. Berbuat baik kepada Orang tua adalah salah satu
ibadah besar sedangkan durhaka kepada Orang tua adalah salah satu dosa yang
paling besar.
Upaya yang bisa
dilakukan oleh sekolah adalah;
- Materi
Birul walidain tidak hanya milik PAI. Berbakti kepada Orang tua harus
menjadi indikator lulusan sekolah (Islam). Karena ini adalah perkara
utama. Seakan-akan tidak hanya Orang tua saja yang harus menandatangani
kontrak pengasuhan kepada pihak sekolah namun sekolah pun harus
menandatangani kontrak mendidik kepada Orang tua untuk kesungguhan dalam pendidikan birulwalidain
( berbakti kepada Orang tua).
Salah
satu bentuk kesungguhan ini adalah bahwa tema birulwalidain tidak hanya menjadi
tanggungjawab Pendidikan Agama Islam (PAI) melainkan harus menjadi tema ajar
yang dalam semua materi ajar. Menjadi materi ajar dengan berbagai sudut pandang
materi ajar.
Bahkan
tidak hanya semua materi ajar di sekolah, dirumah pun Orang tua harus mengambil
peran. Tentu saja Orang tua tidak dengan cara menyuruh atau mengajak melainkan
dengan memberi tauladan. Sehingga anak-anak mempunyai jawaban atas pertanyaan;
Bagaimana sih Bapak dan Ibu menghadapi Kakek dan Nenek?
- Event
keluarga bersama sekolah. Kesepahaman dan kebersamaan antara Orang tua dan
Guru tidak hanya menjadi konsep dan pembicaraan antara keduanya melainkan
berusaha untuk diujudkan dalam bentuk aktifitas fisik yang dapat dilihat,
dirasakan, dan dilakukan oleh anak-anak. Tidak cukup dengan buku
penghubung yang hanya berupa tulisan saling memberi laporan dan saran.
Adakan
suatu event dimana anak-anak bisa merasakan bersama keduanya. Anak bisa
merasakan bahwa mereka mempunyai pandangan yang sama tentang dirinya. Anak-anak
bisa merasakan mereka yang saling memberi dan menerima, mereka yang saling
memiliki kelebihan dan kekurangan. Sehingga anak-anak bisa memahami, bukan
hanya Guru yang segalanya, Orang tua pun segalanya.
- Home
visit. Adakan kunjungan ke rumah Orang tua dalam waktu yang cukup senggang
untuk keduanya. Ciptakan suasana kebersamaan dan kekeluargaan. Bukan
suasana persidangan dimana anak-anak seakan menghadapi Jaksa, Hakim dan
Pembela.
Drs. Slamet Waltoyo, Kepala MI Islam Al-Kautsar Sleman Yogyakarta
sumber gambar : fiqhislam.com
Post a Comment