Agar Anak Memiliki Empati
Memang baik memotivasi anak menjadi senang
belajar untuk menggali kecerdasannya. Tetapi memotivasi tentu berbeda dengan
membebani. Berkompetisi juga dianjurkan di dunia pendidikan dengan memberikan
apresiasi bagi anak yang berprestasi dan motivasi bagi anak yang lain.
Guru atau
pendidik selayaknya tidak hanya memberi point
plus bagi anak-anak yang pandai
berpendapat dan bercerita di depan kelas. Berikan pula apresiasi untuk mereka
yang sabar mendengarkan. Mendengar merupakan salah satu bentuk kecerdasan
interpersonal yang seharusnya juga dikenalkan untuk ditumbuhkan dan
dikembangkan pada anak-anak. Seperti kata Abu Darda’, “Aktifkanlah dua telingamu
daripada mulutmu. Karena engkau diberi dua telinga dan satu mulut agar engkau
lebih banyak mendengar daripada bicara.”
Kebiasaan
mendengarkan adalah proses pembentukan diri untuk menghargai orang lain,
mengendalikan diri, menghormati, dan empati. Empati
adalah menempatkan diri seolah-olah menjadi seperti orang lain atau merasakan
apa yang orang lain alami. Anak-anak seringkali ingin menjadi yang tercepat
sehingga terkadang lupa memperhatikan hak-hak orang lain dan cenderung tidak
peduli. Kebiasaan berebut, tidak mau mengalah, marah ketika diminta untuk
berbagi, ingin selalu didengarkan tapi enggan untuk mendengarkan, tidak mau
mengantri dan ingin selalu di depan, adalah anak-anak yang belum terbangun
empatinya.
Membangun empati
pada anak dapat dilakukan dengan 3 hal, melalui lingkungan, pengetahuan dan teladan.
Karakter anak terbentuk oleh lingkungan. Baik lingkungan di sekolah maupun di
rumah. Dari lingkungan anak belajar berinteraksi dengan banyak orang. Mereka melihat,
mendengar dan tidak hanya merekam dalam memori seluruh kejadian yang mereka
temui setiap hari, tetapi lambat laun lingkungan membentuk jati diri dan
pribadi anak sesuai pola lingkungan tersebut, yaitu lingkungan penuh cinta dan
rasa aman bagi anak.
Anak mengenal
makna empati karena pengetahuan yang diberikan orangtua atau guru. Penjelasan
sederhana akan lebih mudah dipahami anak. Dengan memberikan pemahaman tentang
berbagai macam perasaan, perasaan positif (baik sekali, senang sekali), dan
perasaan negatif (misalnya, “temanmu sedih sekali nak, karena kamu tidak mau
bermain bersama-sama”). Pemahaman
tentang pahala dan akan disayang Allah, orangtua dan teman-teman bagi anak yang
suka menolong. Namun setiap pertolongan juga harus dibersamai dengan alasan
yang jelas agar di masa depan tidak ada orang yang memanfaatkan kebaikan
hatinya dengan cara yang buruk.
Langkah yang
terakhir untuk mengajarkan empati adalah melalui keteladanan. Dengan melibatkan
anak pada kegiatan-kegiatan sosial seperti kerja bakti dan kunjungan ke panti
asuhan. Menunjukkan hal-hal sederhana yang dapat dilakukan sehari-hari, seperti
membukakan pintu dan mengucapkan “silahkan masuk” kepada tamu, ajak anak
mengambilkan tissue ketika ada teman yang menangis atau terluka karena jatuh,
bersedekah kepada teman atau orang yang membutuhkan.||
Anak-anak masa
kini kerap kali disuguhi hal-hal yang membentuk mindset mereka untuk menjadi yang pertama, terdepan, tercepat, dan
terbaik. Sering ditemui anak-anak menjadi gaduh dan sangat ramai saat diminta
antri, karena semua berebut ingin menjadi yang pertama tanpa mampu
mengendalikan diri. Umumnya di sekolah, anak-anak yang terlihat menonjol akan
mendapatkan tempat dan perhatian istimewa. Anak yang mampu berbicara lancar di
depan kelas biasanya mendapatkan apresiasi berupa tepuk tangan dari guru dan
teman-temannya. Hanya anak-anak yang mampu cepat menjawab kuis atau pertanyaan
guru yang mendapatkan “bintang” atau reward.
Maulani,
S. Sos. I, Pendidik
TPA Praba Dharma Yogyakarta
Post a Comment