Dunia Sekolah : Sekolah Efektif (1)
Hari-hari
pertama bulan Ramadhan dirasakan cukup berat bagi Bu Ilham. Biasanya, perutnya
tidak bisa dibiarkan kosong terlalu lama. Ada
saja yang harus dimakan atau diminum. Itulah yang selama ini membuat tubuh Bu
Ilham subur makmur. Tak heran bila selepas sholat Ashar, Bu Ilham terlihat
sangat lemas.
“Pak Ruslan,
maaf ya, saya silaturahmi sore-sore. Saya harus mengobrol supaya saya tidak
terlalu menderita … di rumah tidak ada yang diajak ngobrol, Pak …” Begitulah
ucapan Bu Ilham ketika mengawasli obrolan dengan Pak Ruslan. Wajahnya memelas.
Pak Ruslan
tersenyum geli. Begitu pula Bu Ruslina. Apalagi ketika Bu Ilham menggunakan
kata ‘menderita’ untuk menggambarkan keadaannya.
“Lho,
silaturahmi kan
memang diajarkan dalam agama. Apalagi bulan Ramadhan seperti sekarang ini.
Mengobrol yang bermanfaat mala bak. Silakan, Bu … Hanya saja, maaf ya, terpaksa
tak ada teh dan pisang goreng hangat …,” ujar Bu Ruslina.
“Please, Bu.
Jangan buat saya makin mendeirta dengan menyebut-nyebut makanan favorit saya
itu … Please …”
“Oh .. maaf.
Bagaimana kalau nanti ketika berbuka puasa kita nikmati pisang goreng hangat
itu?”
Tiba-tiba mata
Bu Ilham berubah berbinar-binar. “Wah, tawaran yang cerdas. Seperti tawaran
surga untuk orang-orang yang bertaqwa …”
Pak Ruslan dan
Bu Ruslina tersenyum lebar. Tak salah, sejak bergabung menjadi pengurus Komite
Sekolah iBu Ilhan memang makin pintar. Kata-kata yang dipilih pun, meski lucu,
tapi semakin cerdas. “Baik Bu, saya siapkan dulu ya …” Bu Ruslina pun masuk ke
rumah.
“Bagaimana
perkembangan kegiatan komite sekolahnya, Bu?” tanya pak Ruslan.
“Berjalan
lancar, Pak. Mudah-mudahan sekolahnya Abror bisa makin baik. Kalau pakai
kata-katanya Pak Farhan Santosa, bisa menjadi sekolah efektif. Cuma,
kadang-kadang saya berpikir, sebenarnya sekolah yang baik itu yang seperti apa
sih …?” tanya Bu Ilham. Kali ini dengan mimik serius. Bibirnya dimonyongkan,
tapi tanpa senyum sama sekali.
“Pertanyaan Bu
Ilham semakin hebat saja. Bukan hanya Bu Ilham, para ahli juga memperdebatkan
terus pengetrian dan kriteria sekolah yang baik ini. Tapi bila disederhanakan,
ada dua model pendekatan untuk menetapkan sekolah itu baik atau tidak …”
“Nah, menarik
ini. Hanya dua, mudah dihafal … Bisa saya pakai untuk bahan diskusi dengan
Kepala Sekolah …,” sergah Bu Ilham. Matanya semakin bersinar, bibirnya semakin
monyong.
“Model
pendekatan pertama disebut …,”
“Please, Pak
Ruslan, disebut dua-duanya dulu, baru diterangkan satu-satu. Biarlah otak tua
ini hafal dulu …”
Pak Ruslan
tersenyum lagi. “Baik, Bu. Model pendekatan pertama disebut Model Tujuan, dan
model pendekatan kedua disebut Model Sistem …”
Tiba-tiba BU
Ilham memberi isyarat tangan. Matanya melihat keatas, mulutnya komat-kamit.
Rupanya Bu Ilham langsung menghafalkannya …” Sudah, pak. Silakan diterangkan
satu per satu …”
“Kita mulai
dengan model pendekatan yang pertama dulu, Model Tujuan. Dari nama istilah yang
digunakan kita sebenarnya bisa menebak maksudnya. Menurut model ini sekolah
dikatakan baik atau efektif bila berhasil mencapai tujuan-tujuan yang ditetapkannya.
Biasanya, tingkat pencapaian tujuan ini diukur dengan melihat hasil tes
prestasi yang terstandar ..”
“Apa yang
dimaksud nilai prestasi siswa-siswinya tinggi dan memuaskan …?”
“Benar. Nilai
prestasi siswa sering menjadi ukuran yang terpenting untuk menentukan sebuah
sekolah dikatakan baik atau tidak.”
Bu Ilham
tampak manggut-manggut. “Semua orang pasti setuju dengan pendapat ini. Kan memang harus begitu,
Pak. Kalau nilai prestasi siswanya jelek-jelek, bagaimana mungkin kita menyebut
sekolah itu baik? Itu jelas sekolah jelek …”
“Memang
kelihatannya sangat logis. Tapi banyak yang tidak setuju juga .. Para ahli banyak yang kurang setuju …,” ujar Pak Ruslan.
“Lho,
orang-orang yang katanya ahli itu memang sering aneh-aneh pendapatnya,” sergah
Bu Ilham. Bibirnya dimonyongkannya.
“Bukan begitu.
Mereka bukannya tak setuju dengan ukuran prestasi akademik siswa, namun mereka
menganggap model ini terlalu sempit. Keberhasilan sekolah hanya diukur dari
satu dimensi saja. Kan
masih banyak dimensi lain, yang mungkin tak mudah diukur dengan tes prestasi
terstandar? Akhlaq siswa misalnya. Atau kemampuan kepemimpinan, kepedulian
sosial, kegotongroyongan, kegigihan dan keuletan, ketekunan beribadah, dsb.
Semua tadi penting tidak, Bu?” tanya Pak Ruslan dengan lembut.
“Jelas
puentiiing buanget, Pak!” jawab Bu Ilham setengah berteriak.
“Lagi pula,
ukuran baik-buruk seperti itu terkadang terasa kurang adil. Seolah keadaan
masyarakat, kondisi sosial-ekonomi, dan aspek-aspek lain kurang
dipertimbangkan.”
“Betul juga,
ya Pak. Tapi, tentang akhlaq, kepemimpinan dan yang disebut Pak Ruslan tadi kan bisa dimasukkan
dalam tujuan sekolah juga, Pak …”
“Benar . Tapi
para ahli yang mendukung model tujuan lebih banyal menggunakan kriteria hasil
tes prestasi terstandar. Mereka berasumsi bahwa masyarakat akan lebih mudah
memahaminya dan lebih mudah mengukurnya. Karena susah diukur, lalu cenderung
tidak terlalu dijadikan pertimbangan …”
“Baik, saya
sudah paham. Sekarang model yang kedua?”
Belum sempat
Pak Ruslan menjawab, tiba-tiba Bu Ruslina keluar sambil membawa 3 gelas teh
hangat dan sepiring pisang goreng. “Berhenti dulu diskusinya. Sebentar lagi
adzan Magrib akan berkumandang…”
“Setuju!!!
Setelah mengobrol dengan Pak Ruslan saya jadi bersemanngat. Dan yang ini
membuat penderitaan saya akan segera berakhir… Terima kasih Bu Ruslina. Pahala
memberi makanan untuk berbuka bagi orang berpuasa seperti saya banyak sekali
lho, Bu.”
“Dan…
penjelasan tentang model kedua lain waktu saja ya …,” ujar Pak Ruslan.
“Setuju seribu
persen!!!”
Dan adzan
Magrib pun berkumandang denan gagah. Mengusir penderitaan …
RUA Zainal Fanani, Ketua Yayasan SPA Yogyakarta
foto : Audisi Tahfizh, SDIT Hidayatullah Sleman Yogyakarta
Post a Comment