Menulis Yuk!
Ketika saya menerima surat
pemberitahuan tentang akan diselenggarakannya lomba menulis sinopsis cerita
untuk anak didik saya di SD, maka saya mulai sibuk menilai siapa di antara anak didik saya yang cocok untuk
mengikuti lomba tersebut. Di samping menulis sinopsis ternyata dalam lomba
tersebut juga mengharuskan peserta menyampaikan kembali sinopsis cerita yang
telah mereka tulis. Jadi, ada dua keterampilan yang harus dimiliki oleh peserta
lomba, yaitu keterampilan menulis dan lisan, dan yang paling utama tentunya
adalah keterampilan membaca.
Di sini saya ingin berbagi
cerita, hal pertama yang sangat saya ingat adalah tulisan yang saya baca,
kurang lebih seperti ini :
Suatu hari
Noerhayati memberikan hadiah kepada Eliza dan adiknya. Masing-masing
sebuah buku harian. Buku berkulit tebal dengan warna-warni menarik dan hiasan
gambar-gambar lucu di masing-masing halamannya. ''Kamu bisa menulis apa saja
isi
perasaan yang tidak bisa dikatakan dalam buku ini,'' katanya.
Noer tak
pernah menyangka si kecil Eliza kelak memutuskan diri akan menjadi
penulis. Hadiah itu tak diniatkan untuk melatih anak-anaknya menulis. Ia cuma
ingin menjawab keingintahuan mereka yang sering bertanya kebiasaan yang sering
dilakukannya: menulis di diary dan mencatat di buku belanja.
Belum lama
ini, sekitar sepuluh tahun kemudian, si kecil Eliza Handayani sudah menerbitkan
novelnya Area X. Noerhayati tak pernah merasa punya andil
menyuburkan bakat menulis anaknya. Secara tak disadarinya, Noer mempraktikkan
cara-cara yang disarankan para pakar untuk mendorong anak gemar dan berlatih
menulis. Mulai dari membiasakan anak membaca hingga memberi berbagai kemudahan
untuk menulis.
Menulis
dimulai dari membaca. Penulis-penulis besar pastilah suka membaca. Saat
anaknya masih kecil, Noerhayati suka membacakan dongeng. Saat cerita habis
dibaca, ia tetap membaca buku itu. Tapi, dengan ceritanya sendiri. Begitu Eliza
sudah bisa membaca, ia mencari cerita-cerita yang pernah dibacakan ibunya.
Ternyata sebagian tidak ada di toko mana pun.
Mengapa
begitu? ''Buku itu karangan yang ditulis,'' jelas Noer, ''Kamu juga bisa
menulis sendiri karanganmu.''
Kegemaran
membaca Eliza selalu terpenuhi. Apalagi ia kerap masuk ranking
tertinggi di kelasnya yang berarti mendapat hadiah buku banyak dari sang ibu.
Begitulah
Eliza. Sejak tahu bahwa 'buku itu karangan yang ditulis', ia mulai
rajin menulis. Tulisan-tulisan pendek yang hanya ia tunjukkan pada adiknya.
Sang
ibu dengan setia menyediakan buku dan kertas untuk mempermudah Eliza menulis.
Termasuk saat si sulung ini minta dibelikan sebuah komputer, ibu dan ayahnya
meluluskan.
Noer tak
pernah mengritik saat awal Eliza menulis. Namun, diam-diam ia
memperhatikan gaya menulis anaknya yang 'melompat' jauh. ''Saat berlibur ke
Anyer, dia menulis berlibur ke Hawaii,'' katanya, mencontohkan.
Karyawati
swasta berpendidikan apoteker ini selalu berusaha mengerti kebutuhan
sang anak. Ia tak pernah mengritik buku-buku pelajaran Eliza, yang meski rapi,
selalu dipenuhi tulisan di pinggir-pinggir halamannya. ''Sebab, kalau ide itu
muncul dan tidak langsung dituangkan bisa hilang,'' ujarnya.
Hingga tamat
SMU, Eliza sudah menulis sekumpulan puisi, tiga naskah drama, satu
cerita film, dan tiga novel walaupun baru satu yang dibukukan. Ia kini kuliah
di
jurusan studi film di Wesleyan University, Connecticut, AS. Sementara adiknya,
yang juga dibesarkan dengan cara yang sama baru masuk di Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Walaupun sama-sama suka menulis, ia tak berniat jadi
penulis
Uswatun
Hasanah, S. Sos I. Wali Kelas IV SD Muhammadiyah Blunyahgede, Yogyakarta.
Post a Comment