Anak Sebagai Sumber Narsis
“Kok, kebangetan banget nggak kasih kabar? Apa susahnya SMS? Begitu
rentetan pertanyaan teman saya yang berada di luar kota ketika dia tidak
mengetahui kalau saya sudah memiliki anak. Ada perasaan kecewa dan sedikit
marah dalam pertanyaannya. ”Kayak nggak
nganggap teman saja,” sungutnya
Begitulah reaksi teman saya ketika kami
bertemu setelah sekitar tiga tahun tidak berjumpa. Saya tidak menduga reaksi
teman saya akan seperti itu karena memang ketika anak saya lahir, saya hanya
menginformasikan kepada keluarga. Teman-teman tahu dengan sendirinya. Tidak
ada satu SMS pun yang saya kirim kepada teman-teman. Saya pun sama sekali tidak
menuliskannya di status saya di social
media. Mengapa?
Sebagai orang yang diberi keturunan
dalam usia yang tidak muda lagi, awalnya saya membayangkan akan sangat senang
ketika istri saya melahirkan. Saya mungkin akan berjingkrak seperti para suami di sinetron Indonesia.
Saya akan teriakkan kepada semua orang bahwa saya sudah memiliki keturunan.
Tapi, semua itu tidak saya lakukan.
Memang benar saya bahagia dan bersyukur,
tapi rasa itu kalah oleh perasaan khauf saya
menerima amanah ini. Bisakah saya mengoptimalkan tumbuh kembang jasmani dan
rohaninya? Mampukah saya mengantarnya
menjadi insan kamil? (manusia sempurna? : redaksi) Tanggungjawab
menjadi orangtua lebih mendominasi perasaan saya ketimbang rasa senang memiliki
momongan. Ada ayat dalam Alquran yang mengetuk halus kesadaran saya.
“Dan ketahuilah, hartamu
dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah ada
pahala yang besar” (QS 8:28).
Itulah alasan pertama, mengapa saya tidak mengirim SMS kepada teman-teman saya.
Alasan kedua, saya sungguh tidak ingin
menjadikan anak saya menjadi bahan narsisisme. Narsis, istilah yang populer pada
era social media ternyata sudah lama menjadi kajian dalam
psikologi komunikasi. Para peneliti seperti Anita Vangelisti, Mark Knapp, dan
John Daly memperkenalkan istilah conversational
narcisism. Komunikator yang narsis memiliki beberapa karakteristik yaitu self love, kecenderungan melebih-lebihkan arti
penting diri sendiri; talking about yourself in a very proud way; suka mengontrol alur pembicaraan; mencari kesempatan
untuk dapat
berbicara tentang dirinya
sendiri;
untuk lebih “meyakinkan”, mereka menggunakan kode
nonverbal dan perilaku “exhibionist” lainnya; tidak sensitif dan responsif pada orang lain.
Anak merupakan salah satu bahan yang
cukup “menggoda” untuk dijadikan sebagai bahan narsis. Orangtua yang narsis
akan mudah dikenali karena dari lima menit pertama pembicaraannya, ia akan mulai
bercerita tentang kelucuan anaknya, prestasinya, gantengnya atau cantiknya.
Seolah hanya dialah di dunia ini yang memiliki anak. Rasa cinta yang berlebihan
membuat orangtua tidak pernah (mau) melihat kekurangan anak.
Apabila dalam sebuah kompetisi anaknya
tidak berhasil memenangi juara, maka orangtua tipe ini tidak akan menerima kekalahan tersebut. Selalu ada dalih yang
dikemukakan, misalnya penilaian tidak objektif. Karena ia hanya terfokus pada
anaknya sendiri, maka ia menepis kemungkinan bahwa ada anak lain yang lebih
baik lagi kemampuannya. Mereka lupa bahwa tiap anak punya keistimewaannya
masing-masing.
Tugas orangtua adalah mengasuh
anak-anaknya seoptimal mungkin, bukan
memamerkannya kepada orang lain. Masih sangat panjang tugas yang harus diemban
orangtua dalam mengasuh anak-anaknya. Selain upaya, orangtua hanya bisa
mengiringinya dengan doa yang tak pernah
putus, semoga anak-anak menjadi generasi yang shalih dan shalihah.
Namun demikian, saya tidak akan menghakimi
bahwa mereka yang menyampaikan kabar gembira atas kelahiran anaknya selalu
berkategori narsis. Bisa saja mereka memang ingin berbagi syukur dan mengharap
doa dari handai tolan dan sahabat. Oleh karena itu, kalau anak-anak saya
berikutnya lahir, saya akan sampaikan kabar ini kepada sahabat saya. Semoga ini
bisa melerai salah paham dan retaknya hubungan kami selama ini.||
M Edy Susilo,
Dosen FISIP UPN Veteran Yogyakarta
Post a Comment