Asyiknya Saling Memahami
Membangun hubungan
pergaulan yang kuat, sehat, penuh manfaat dibutuhkan beberapa tiang penyangga.
Antara lain, kesediaan saling mengenal, saling memahami, saling
menolong, dan saling memberi jaminan di antara kita. Ringkasnya dikenal dengan
istilah ta’aruf, tafahum, ta’awun, dan takaful.
Setelah saling mengenal mestinya kita saling memahami. Ini penting
agar kesalahpahaman bisa dijauhi. Kita pahami sifat dan karakter masing-masing,
kelebihan dan kekurangan, kekuatan dan kelemahan, apa yang disukai dan apa
yang dibenci. Berawal dari saling memahami, lahirlah saling mencintai,
saling berbagi, lalu saling peduli.
Ada banyak orang yang telah sekian lama mengenal dan bersahabat
tapi tidak juga saling memahami. Akibatnya salah paham di antara mereka masih
sering terjadi. Tidak sedikit pasangan suami-istri yang sudah lama menikah tapi
tidak banyak saling memahami. Tak heran jika konflik sering muncul hampir
setiap hari. Hubungan antara orang tua dan anak seringkali rusak karena tidak ada kesediaan saling
memahami.
Orang tua mestinya mau dan mampu memahami anaknya, begitu juga
sebaliknya. Contohnya, orang tua dan anak sama-sama memiliki sifat fitrah. Salah satu sifat
fitrah anak adalah menginginkan perlindungan dan bimbingan (QS. Al-Isra’: 24). Salah satu sifat fitrah
orang tua adalah senang punya anak yang shalih-shalihah (QS.
Ali Imran: 38), atau memiliki anak yang bisa menjadi penyejuk hati atau qurrotu
a’yun (QS. Al-Furqon: 74). Sebagai anak yang memahami orang tua, ia mesti berusaha
menjadi anak yang baik.
Dengan saling memahami, kita akan lebih
berhati-hati dalam berpikir, bertutur kata, dan bertindak. Jika kita
paham bahwa hampir setiap anak tidak suka disalahkan, kita pun mesti
berhati-hati untuk tidak mudah menyalahkan. Jika pada dasarnya, anak-anak
tidak suka diberi ‘cap’ buruk, kita pun mesti bijaksana untuk tidak suka
memberi cap jelek pada anak. Begitu seterusnya.
Tidak sedikit orang tua yang sudah bertahun-tahun punya beberapa anak, tapi tidak
mampu memahami anak-anaknya. Akibatnya, banyak orang tua yang melakukan
kesalahan dalam mendidik anak-anak tercinta. Inginnya menasehati anak agar
menjadi baik tapi caranya keliru sehingga tidak ada hasilnya. Bukannya sang
anak menjadi patuh tapi malah berani membantah.
Alangkah indahnya jika kita bisa mengerti “siapa sebenarnya”
anak-anak itu? Alangkah asyiknya jika kita bisa memahami psikologi anak meski
baru sebatas yang praktis-praktis. Dengan demikian, kita tidak akan keliru lagi
dalam bersikap terhadap anak-anak, tidak akan salah dalam mendidik mereka.
Kesuksesan membangun generasi penyejuk hati pun bisa diwujudkan.
Orang tua mestinya memahami ciri-ciri atau sifat-sifat anak secara umum
(psikologi anak praktis). Antara lain, anak-anak memilik sifat dinamis/motorik
(banyak bergerak), berpikir konkrit/indrawi, sehingga belum matang berpikir
abstrak. Anak-anak juga punya perasaan sensitif dan emosinya labil, misalnya
mudah marah, mudah senyum, mudah menangis.
Anak-anak juga hidup dalam dunia bermain sehingga mustahil
memisahkan mereka dari permainan. Mereka juga sangat pendek kemampuan
konsentrasinya, mudah kagum dan meniru, punya sifat ketergantungan sehingga
butuh dimotivasi terus. Mereka tumbuh dan berkembang berdasarkan proses
belajar dan melalui tahap-tahap tertentu. Dan yang pasti, anak-anak bukan
orang dewasa bertubuh kecil. Tidak tepat jika orang tua selalu memperlakukan anak-anak yang
masih kecil seperti layaknya orang dewasa.
Dengan saling memahami, insya Allah akan tercipta hubungan yang
asyik sekali. Semua terasa indah dan penuh barokah. []
M. Sutrisno
Ketua Komite Sekolah SDIT Insan Utama, Kasihan Bantul
Aktivis Yayasan Pusat Dakwah & Pendidikan “Silaturahim Pecinta Anak-anak” (SPA) Indonesia
Post a Comment