Berempati Kepada Siswa



Capek, Pak, belajar terus” begitu biasanya yang terucap oleh siswa saat guru memberi tugas. Jika guru tidak memperhatikan, dia akan memberikan ‘cap’ anak malas, anak manja, atau hal negatif lainnya.
Agar tidak terjadi hal tersebut, guru harus berempati kepada siswa, bagaimana kalau posisi guru sebagai siswa. Bisa dibayangkan, jika di pagi hari saat bangun pagi, akan mandi, mau sarapan siswa sudah mendapat marah dari orang tuanya, pasti jiwa siswa tersebut lelah. Beruntung kalau ada siswa dengan orang tua penyabar, pasti ungkapan membangunkan, menyuruh mandi, menyuruh sarapan dengan kata-kata yang enak didengar. Kalau siswa mendapati orang tua yang mudah marah, mudah emosi? Mereka akan ‘dihajar’ habis-habisan dengan kata-kata atau bahkan ada juga orang tua yang ringan tangannya memukul mereka, ada juga yang enteng kakinya menendangnya.
Empati menjadi jalan guru untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya suasana hati siswanya. Jika pagi hari sarapannya adalah amarah orangtua, siang hari amarah guru-gurunya, sore hari amarah guru TPA nya, malam hari amarah guru lesnya, wajar jika mereka capek jiwanya, lelah hatinya, runtuh perasaannya. Apalagi jika itu siswa dapatkan setiap hari. Wajar jika siswa kita memberontak.
Sebagai guru tentu harus bijaksana, guru harus paham kapan saat harus memberi tugas kepada siswa-siswanya dan kapan harus memberi mereka jeda istirahat. Siswa yang terlalu banyak mendapat PR pun dampaknya buruk, siswa yang dibiarkan tanpa PR pun juga bisa berakibat buruk. Jadi harus seimbang.
Dengan empatilah guru akan bisa mengerti seandainya menjadi siswa dengan banyak beban yang ditanggung dari orang tuanya, dari gurunya, dan dari masyarakat. Berempatilah kepada siswa, guru akan semakin bijak menjalani profesinya.

Tuswan Reksameja
Redaktur Majalah Fahma

foto : saefulzaman.blogdetik.com
Powered by Blogger.
close