Ice Breaking Dalam Pembelajaran



Bernyanyi dan bergerak, memunculkan semangat.
Menjadi guru kelas rendah (kelas 1, 2, dan 3) di sekolah dasar memberi kesempatan kepada saya untuk belajar tentang psikologi anak. Mengamati dan mengikuti perkembangan mereka setiap hari di sekolah. Saat mereka tertawa, senang, sedih, bertengkar, dan berselisih paham, bersemangat, heboh dengan segala cerita dan pertanyaannya, ketakutan dan malu, merasa malas, dan saat-saat mereka duduk sendirian di sebuah sudut kelas.
Meskipun mereka sering tidak bisa mengatakan dengan jelas apa yang dirasakannya atau malah hanya diam saja sambil menahan air mata, namun bila kita amati, raut wajah mereka akan menyiratkan pada kita tentang apa yang saat ini sedang mereka rasakan. Termasuk pula saat mereka jenuh di kelas.
Kebetulan anak-anak di kelas saya hampir semua anaknya memiliki gaya belajar kinestetik. Gaya belajar yang memerlukan tubuh untuk selalu bergerak. Bila hanya diminta duduk tenang di kursinya, mereka akan gelisah. Duduk tenang selama lima belas menit adalah prestasi untuk anak-anak yang memiliki gaya belajar kinestetik.
Ada saat-saat mereka ‘diharuskan’ duduk diam lebih dari lima belas menit. Yaitu saat ada latihan soal yang kebetulan berurutan untuk beberapa bidang pelajaran. Kalau saat-saat itu tiba, dapat dipastikan mereka terlihat sedikit ‘manyun’.
Gerakan tubuh mulai ogah-ogahan dan lemas, mulai ada beberapa anak yang meletakkan kepalanya di meja. Bahkan ada juga yang berinisiatif izin ke belakang atau minum atau sekedar berjalan memutari ruang kelas. Banyak strategi dikeluarkan agar bisa bergerak meskipun hanya sebentar. Karena itu, sebagai guru, kita mesti memiliki siasat untuk mengatur ritme pembelajaran agar tidak monoton dan membosankan.
Pernah suatu ketika, saya mencoba membiarkan kondisi seperti itu berlalu saja. Tanpa reaksi apa-apa. Apa yang terjadi? Situasi menjadi kacau balau dan tidak mendukung sama sekali untuk aktivitas anak-anak. Mereka terlihat semakin suntuk. Kesuntukkan itu kemudian diwujudkan dengan kekacauan-kekacauan kecil yang mereka ciptakan. Berlarian, ngobrol, ngelesot di lantai, dan hal-hal kecil lainnya. Heboh dan tak terkendali sama sekali.
Jadi kesimpulannya adalah harus ada penanganan ketika tanda kebosanan itu mulai terlihat. Jangan dibiarkan berlalu begitu saja karena akan menimbulkan kekacauan yang lebih ‘dahsyat’, lalu bagaimana cara menyikapinya?
Banyak cara bisa kita lakukan. Salah satunya adalah ice breaking. Biasanya ketika melihat anak-anak mulai terlihat jenuh dan ogah-ogahan, saya pun mengajak mereka menyanyi sambil bergerak. Lagu anak-anak yang mudah dan ceria. Lirik mudah dan gerakan yang lucu akan membantu anak-anak menemukan semangatnya kembali. Saya pun bergerak dan bernyanyi bersama mereka tanpa khawatir ditertawakan atau bahkan dibilang jelek.
Dulu saya tidak percaya diri bernyanyi. Sumbang dan tanpa nada. Kerap ditertawakan saudara-saudara dan teman. Namun anak-anak adalah pendengar yang baik. Mereka tak peduli meski sedikit sumbang. Melihat kita bersemangat, anak-anak akan senang ikut bersama kita. Bernyanyi dan bergerak. Sering sambil tertawa-tawa geli dan senang karena lagu dan gerakannya lucu.
Ice breaking ini pun tidak memerlukan waktu lama. Kita bisa melakukannya lima sampai sepuluh menit. Hasilnya? Luar biasa! Anak-anak lebih santai, bersemangat, dan ceria untuk kembali melanjutkan aktivitas pembelajaran. Ice breaking ini pun bisa dilakukan di rumah. Saat kejenuhan mulai muncul, kita para orangtua pun bisa melakukannya bersama anak-anak. Mendukung mereka melalui masa sulit dan mengatasinya. Jadi, tunggu apa lagi? Mari kita mencoba.||

Yusuf  Sabiq Zainuddin
Pendidik di SDIT An Nida, Sokaraja, Banyumas


Powered by Blogger.
close