Jadikan Setiap Anak Merasa Istimewa
Setiap anak
adalah istimewa dan unik, tidak terkecuali dalam sebuah keluarga yang memiliki
anak lebih dari satu, dua, tiga ataupun empat, semua istimewa dan ingin menjadi
istimewa. Masalahnya adalah, bagaimana jika seorang anak merasa bukan lagi
menjadi anak yang istimewa, karena kehadiran adik atau saudaranya yang lain?
Ada banyak hal yang dapat dilakukan agar anak tetap merasa istimewa, meskipun tidak
lagi menjadi bintang utama, atau meskipun seringkali harus mengalah, tapi ia
akan tetap merasa menang dan tetap merasa disayangi. Hal ini penting untuk
diketahui oleh orangtua/pendidik, karena fenomena yang terjadi saat ini, banyak
anak yang tidak lagi merasa istimewa dan disayangi oleh orangtuanya, sehingga
ia berbuat semena-mena dan mencari kasih sayang di luar orangtuanya. Karenanya,
mari kita rengkuh kembali mereka, sebab memang sesungguhnya kita menyayangi
mereka.
Dalam seloroh
yang sering muncul dengan menggunakan bahasa jawa dikatakan: “Mbiyen
jik cilik imut-imut, mbasan wes gede amit-amit” yang maknanya kurang lebih “Dulu, ketika masih kecil sangat menggemaskan dan
menyenangkan, setelah besar menjijikkan,” na’udzubillah,
semoga kata-kata tersebut, hanya sekedar kata dan tidak terjadi pada anak-anak
atau siswa kita kelak.
Dalam masa pertumbuhannya, anak memiliki
kebutuhan dan ekspresi cinta yang sedikit berbeda, kebutuhan anak usia 1-6
tahun jelas berbeda dengan 7-12 tahun dalam berbagai aspek, di antaranya fisik,
pola pikir, emosi, dan sosial. Anak 1-6 tahun secara fisik masih canggung dan
belum sempurna dibandingkan anak 7-12 tahun. Secara pola pikir, anak 1-6 tahun
baru bisa menerima sebuah ide konkrit dan sederhana berbeda dengan anak 7-12
tahun yang bisa menerima ide rumit dan abstrak. Sebagai contoh, Bunda menyuruh mereka minum
susu. Kepada si kecil, Bunda harus mendampinginya sementara pada anak usia 7-12
tahun, Bunda cukup mengingatkannya
sambil tetap beraktivitas.
Dari sudut sosial, anak 1-6 tahun
memusatkan perhatian pada diri sendiri sedangkan usia 7-12 tahun sudah lebih
tertarik dengan keadaan di luar diri. Dari aspek emosi, anak 1-6 tahun belum
mahir mengontrol emosi, misal mereka cenderung berguling-guling ketika
memaksakan suatu keinginan, berbeda dengan anak 7-12 tahun yang lebih dapat
mengendalikan emosi dan memahami keinginannya. Perbedaan inilah yang kerap
melahirkan perbedaan perlakuan orangtua pada anak. Masalahnya, anak kerap
menilai tindakan orangtua sebagai pilih kasih. Tak ayal bila akhirnya terjadi
pertengkaran antara kakak dan adik; kakak menilai orangtua membatasi keinginan
dan lebih mementingkan kebutuhan adik. Hal semacam ini dapat diminimalisir dan
dihindari, jika orangtua/pendidik tahu bahwa apa yang diberikan kepada anak
berbeda, tapi cinta yang diberikan sama, meskipun bentuknya harus dibedakan
sesuai kebutuhan.
Kualitas cinta sama, tapi bentuk
berbeda. Jika kita dapat memerankan secara tepat, maka anak akan melihat bahwa orangtuanya tidak
seperti yang ia sangka, memberikan kasih sayang dengan pilih kasih.
Selain itu, orangtua perlu memberi dukungan pada
anak, dengan aktivitas yang disukainya, jika hal ini dilakukan, maka ada banyak
celah untuk bisa memberi masukan dan mendidik anak melalui apa yang disukainya.
Memang, orangtua memiliki otoritas dalam mendidik putra putrinya sesuai dengan
prinsipnya, namun itulah anak-anak masa kini, mereka membutuhkan lebih banyak dimengerti untuk bisa mendampinginya secara harmonis dalam memandu perkembangan
dan pertumbuhannya. Selebihnya, orangtua tidak boleh melupakan barang
sedikitpun untuk terus berdoa, semoga dapat menjadi pendidik yang baik dan
anak-anak menjadi anak yang shalih dan shalihah. Amin.||
Umi Faizah, S.Ag, M.Pd
Ketua STPI Bina Insan Mulia Yogyakarta
Post a Comment