Menagih Konsistensi Penerapan Kurikulum 2013



Change is inevitable, Growth is optional.’ Sebuah ungkapan yang mungkin tepat untuk menggambarkan sebuah pilihan yang mau tidak mau harus diambil oleh pemerintah, dalam hal ini diwakili oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, untuk menjamin proses pendidikan yang lebih mampu menjawab tantangan-tantangan masa dapan dan lebih tanggap terhadap permasalahan-permasalahan sosial budaya terkini: Perubahan Kurikulum 2013. Sebuah kurikulum yang didesain sedemikian rupa lebih mampu memfasilitasi berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.
Tentu saja, untuk kesuksesan implementasi kurikulum 2013 ini, pemerintah sudah mempertimbangkan faktor-faktor penentu dan faktor-faktor pendukung seperti faktor ketersediaan buku siswa, buku panduan guru, dan dokumen kurikulum, penguatan manajemen dan budaya sekolah, serta penguatan peran pemerintah dalam pembinaan dan pengawasan. Pemerintah tampaknya sudah memiliki blue print penyiapan dan pembinaan sumber daya guru untuk mengantisipasi kebutuhan implementasi kurikulum 2013, mulai dari rekrutmen guru berbasis portofolio guru, pendekatan diklat, penilaian berbasis kompetensi, sampai master teacher di tingkat nasional maupun kabupaten.
Hanya saja, berkaca dari pengalaman-pengalaman terdahulu, kemungkinan yang akan menjadi persoalan utama  dalam implementasi kurikulum 2013 adalah rendahnya konsistensi, kesesuaian dan keajegan antara apa yang ditetapkan sebagai tujuan dengan pendekatan yang digunakan untuk mencapai tujuan, dan evaluasi yang digunakan untuk menentukan efektivitas dan efisiensi pendekatan untuk mencapai tujuan tersebut.
Sebagai contoh, ketika Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3 menegaskan bahwa indikator pencapaian tujuan pendidikan nasional adalah berkembangnya potensi peserta didik untuk menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab, mengapa evaluasi belajar akhir peserta didik tingkat nasional tahun 2013 dan sebelum-sebelumnya (baca Ujian Nasional) pada tingkat Sekolah Dasar hanya diwakili oleh mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, dan Ilmu Pengetahuan Alam?
Terlepas dari masih adanya sejumlah persoalan terkait pelaksanaan Ujian Nasional,  tidakkah pemilihan 3 mata pelajaran tersebut akan memunculkan kesan publik bahwa indikator terpenting pencapaian tujuan nasional adalah berilmu, bukan beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab? Meskipun akan ada bantahan bahwa tidak ada kebijakan resmi dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kenyataan di lapangan yang tidak terbantahkan dari adanya kebijakan Ujian Nasional semacam ini adalah sebagian besar sekolah, kalau tidak mau disebut semuanya, memberikan prioritas yang lebih besar sejak semester pertama tahun ajaran baru kelas 6 SD/ 3 SMP/3 SMA kepada mata pelajaran yang diujikan dalam ujian nasional dan menganaktirikan pelajaran lain yang tidak dikenai ujian nasional.
Maka, mari kita tagih konsistensi pemerintah agar implementasi kurikulum 2013 benar-benar mampu memfasilitasi anak-anak kita, murid-murid kita menjadi pribadi beriman, bertakwa, berakhlak mulia, pembelajar yang sukses, warga negara yang bertanggung jawab, dan kontributor peradaban yang efektif!||

Oleh : Dr. Irwan Nuryana Kurniawan, M.Psi.
sumber gambar : alvyanto.blogspot.com
Powered by Blogger.
close