Antara Saya dan Bapak
Sore itu sungguh kacau. Saya pulang dari
kantor dalam kondisi suntuk. Ada beberapa hal yang kurang menyenangkan hari
itu. Belum lagi situasi jalan raya pada jam sibuk pulang kerja membuat
perjalanan saya tersendat. Badan rasanya capek dan
kulit lengket oleh keringat.
Sesampai di rumah, seperti biasa
anak-anak menyambut saya. Tapi itu hanya selintas, karena kemudian si Kakak
terus mengganggu adiknya. Ada-ada saja ulah si kakak. Berebutan mainan, menggoda
Adik, dan
seterusnya. Si Adik menangis meraung-raung, tapi Kakak
malah semakin provakatif. Kakak tidak mengindahkan perintah saya untuk berhenti
mengganggu Adik.
Lalu, lengkingan keras dari si adik membuat kesabaran saya menguap. Tiba-tiba, tangan saya
terayun dan, “plak”,
telapak tangan saya mendarat di pantat si Kakak. Ia
kaget dan memandang saya. Mungkin karena
melihat monster di wajah saya, ia mulai menangis.
Sesungguhnya, saya pun amat kaget dengan
tindakan saya. Rasa kaget itu kemudian berubah menjadi rasa bersalah. “Astaghfirullah hal ‘adzim”. Ya Allah,
apa yang telah saya lakukan? Mengapa saya melakukan hal ini? Anak saya telah
memberikan saya kebahagiaan yang tiada terhitung, tapi hanya karena ulah yang
sepele itu, saya telah melakukan tindakan bodoh padanya.
Saya meminta maaf pada anak saya. Saya
peluk tubuh mungilnya. Anak saya mengangguk dan membalas dengan pelukan yang
erat. Tapi justru itu membuat perasaan bersalah saya semakin mendera. Sebagai
dosen Ilmu Komunikasi, saya tahu bahwa komunikasi bersifat irreversible, tidak dapat dibalik. Begitu seseorang menyampaikan
sesuatu, maka tidak bisa dibalik lagi. Permintaan maaf saya tidak bisa dianggap
bahwa saya tidak pernah melakukan kekerasan pada anak saya.
“Karena komunikasi irreversible, hati-hatilah dalam berkomunikasi dan juga bertindak”,
saya teringat ucapan saya di depan kelas dengan gaya yang amat bijaksana.
“Ketika kita melakukan komunikasi yang buruk, misalnya verbal aggression atau
hostility, maka kita seperti sedang memasang paku di batang pohon. Semakin
banyak kita melakukannya, semakin banyak pula paku yang kita tancapkan. Ketika
kita minta maaf, kita seperti sedang mencabuti paku-paku itu. Paku bisa
terlepas. Tapi apa yang terjadi dengan batang pohonnya? Ia penuh luka.”
***
Istri menyarankan agar saya memaafkan
diri sendiri, istighfar dan berusaha
tidak melakukan lagi tindakan seperti itu. Hal itu cukup membantu dan membuat
saya lebih tenang.
Di keheningan malam itu, saya terpekur
di atas sajadah. Dalam permenungan itu, tiba-tiba saya ingat Bapak.
Sampai Bapak wafat ketika saya sudah dewasa,
belum pernah sekali pun bapak melakukan kekerasan fisik pada saya. Marah pun
amat jarang. Intensitas kemarahannya juga tidak “eksplosif”, sehingga ekspresi
muka masam Bapak sudah cukup membuat saya tahu bahwa
saya melakukan kesalahan.
Dari segi pendidikan, Bapak hanya
menempuh pendidikan setingkat Tsanawiyah plus
beberapa tahun menjadi santri di pondok pesantren kampung. Sedangkan saya, yang
katanya merupakan lulusan pascasarjana, tapi mengapa melakukan tindakan
primitif pada anak? Bapak juga bukan penulis
parenting seperti saya yang dengan fasih sering mengajarkan “do and don’t” dalam mendidik anak. Tapi, apa yang Bapak
lakukan justru telah menerapkan prinsip-prinsip parenting. Kami, enam saudara kandung—yang semuanya telah menjadi orangtua—masih sering
bercerita tentang Bapak. Semua punya pengalaman indah
dengan Bapak. Tidak ada yang merasa
dinomorduakan. Semua merasa menjadi anak yang istimewa bagi Bapak.
Bapak sudah mendahului kami belasan
tahun lalu. Tapi kasih sayangnya masih hangat menyelimuti kami, anak-anaknya. Kami
pun tak putus mendoakan beliau (dan tentu saja dengan ibu). Apakah demikian
pula dengan anak-anak saya kelak? Ataukah sebaliknya?
“Rabbighfirli waliwalidayya warhamhumma kama
rabbayaani saghiraa”.
Sesaat kemudian, sajadah di depan saya
mulai kabur oleh air mata yang mengambang. Doa dan dzikir saya tercekat di tenggorokan. Di dada ini ada rasa ngilu yang menyayat
“Bapak, saya kangen Bapak”.
M Edy Susilo, Dosen FISIP UPN Veteran Yogyakarta
Foto dakwatuna.com
Post a Comment