Cara Mudah Memilih Sekolah
Kalau orang tua ditanya tentang sekolah seperti apakah yang
ia inginkan untuk anaknya, maka ia akan mengatakan sekolah yang nilai UN-nya
bagus, karakter akhlak mulianya unggul, penguasaan bahasa asingnya minimal arab
dan inggris, hafal al-qur’an 30 juz, hafal ratusan atau ribuan hadits,
penguasaan teknologi juga menonjol, prestasi non akademiknya jempolan,
fasilitasnya mentereng, pola hubungan guru-muridnya harmonis, tidak bikin
stress anak, dan biayanya juga murah. Sederhana, bukan? Ya, sederhana. Tapi dimanakah
sekolah dengan kriteria tersebut berada?
Anggaplah si orang tua ini mulai mencari sekolah idaman
hatinya itu. Suatu ketika ia mendatangi sekolah dengan prestasi akademik yang
unggul serta fasilitias yang serba wah. Ia pun merasa mantap dengan sekolah itu.
Akan tetapi setelah ia mendalami informasi demi informasi berikutnya, ia merasa
ada yang kurang. Misalnya biaya yang mahal, penerapan disiplin yang terlalu ketat
sehingga potensial membuat anaknya stress, hafalan qur’an dan hadits yang
rendah, dan beberapa kondisi lain yang tidak sesuai harapan. Ia pun
berkesimpulan kalau ini bukanlah sekolah ideal yang ia cari.
Lalu berpindahlah si orang tua ke sekolah lain yang konon
memiliki model yang berbeda dengan sekolah yang pertama. Ia mendatangi sekolah
yang menitikberatkan pada pendidikan agama dan akhlak mulia, hafalan al-Qur’an
dan hadits, serta penguasaan bahasa arab. Biayanya juga tidak mahal. Ia pun merasa
cocok di situ. Namun masih ada ganjalan yang membuat hatinya tidak mantap. Di
sana ia mendapati prestasi akademik tidak begitu diperhatikan. Penguasaan bahasa
inggris dan teknologi informasi juga terabaikan, padahal ini zamannya teknologi.
Apa lagi soal prestasi non akademiknya, sama sekali di bawah kriteria yang ia
tetapkan. Ah, ini juga bukan sekolah yang ia cari.
Dan untuk yang terakhir kalinya, ia mendatangi sebuah
sekolah yang berusaha memenuhi semua harapan masyarakat. Sekolah ini
menjanjikan prestasi akademik yang unggul, hafalan al-Qur’annya banyak, hafalan
haditsnya sampai ribuan, bahasa arab dan inggrisnya oke, penguasaan terhadap teknologi juga tidak ketinggalan, dan tak
lupa sekolah itu juga mengedepankan pendidikan agama dan akhlakul karimah, dan ini
dia, biayanya murah. Benar-benar sekolah impian.
Dimasukkanlah anaknya ke sekolah impian tersebut. Tetapi di
semester kedua ia sudah buru-buru memindahkan anaknya ke sekolah lain.
Menurutnya, sekolah ini hanya jualan janji. Tidak jelas apa visi, misi dan tujuannya.
Semuanya ingin dicapai, tetapi malah tidak tercapai semua. Padahal menurutnya,
mewujudkan sekolah yang unggul di semua aspek adalah persoalan mudah. Asal ada
kemauan.
Cerita imajiner ini disuguhkan untuk membangun kesadaran
orang tua akan pentingnya visi yang benar dan realistis dalam memilih sekolah
untuk anaknya. Sebab, tidak bisa dipungkiri bahwa keinginan-keinginan para
orang tua itu kadang tidak bisa digabungkan satu dengan lainnya. Jika yang satu
ditonjolkan, maka yang lain terkorbankan. Ini adalah realitas yang dihadapi
oleh sekolah ketika berusaha mewujudkan harapan-harapan orang tua. Apalagi dengan
‘kurikulum sarat beban’ yang sedang diberlakukan oleh pemerintah saat ini. Kurikulum
yang sarat beban mengakibatkan sempitnya ruang gerak bagi sekolah dalam
berkreasi (semoga perubahan kurikulum 2013 bisa menyentuh persoalan lebih
esensial).
Dengan kondisi seperti ini, kunci penentu orang tua saat
memilih sekolah justru terletak pada cara mereka memanaj keinginan-keinginannya
sendiri. Ketika mereka sudah mampu menentukan pilihan dan mengetahui
konsekuensi dari pilihannya tersebut, maka ia akan mudah menemukan atau
menentukan sekolah yang sesuai dengan harapannya.
Di sisi yang lain, sekolah yang baik juga bukan sekolah yang
selalu merasa siap memenuhi segala tuntutan dan keinginan orang tua. Sekolah
yang baik adalah sekolah yang mampu memetakan harapan masyarakatnya, menyandingkannya
dengan regulasi-regulasi, merumuskannya dalam visi-misi, dan kemudian menjadikannya
sebagai bahan untuk menentukan posisioning sekolah. Jika ada orang tua yang
harapannya sesuai dengan posisioning sekolah, maka anaknya akan diterima.
Sebaliknya, jika ada orang tua yang harapannya tidak bersesuaian dengan posisioning
sekolah, maka sekolah akan menyalurkannya ke sekolah lain yang lebih sesuai.
Ada satu hal lagi yang perlu dicermati. Perilaku orang tua
murid kita adalah suka berbagi pengalaman sebagai bentuk kontribusi untuk memajukan sekolah. Pengalaman yang ia
dapatkan di Jepang, ia ceritakan kepada sekolah dengan tujuan supaya sekolah
bisa mengadopsinya, sehingga bisa maju sebagaimana sekolah-sekolah di Jepang.
Demikian juga orang tua yang memiliki pengalaman di Belanda, Perancis, Jerman,
Amerika, Turki, dan seterusnya, semuanya ingin memberikan sumbangsih
pengalaman. Bahkan kadang ada yang siap untuk ikut membantu secara material
jika sekolah bersedia mengaplikasi pengalamannya itu.
Pertanyaannya, bagaimana jadinya jika sekolah menerapkan semua
masukan-masukan itu? Selesaikah persoalan? Tercapaikah tujuan untuk memperbaiki
dan memajukan sekolah? Tidak.
Di sinilah sekolah membutuhkan alat pemilah bernama
posisioning untuk menerima atau menolak sebuah masukan. Sebagaimana, para orang
tua juga membutuhkan alat pemilah berupa visi yang benar dan realistis untuk
memilihkan sekolah bagi putra-putri mereka. Wallahu
a’alam.
Abdullah Munir, Praktisi Pendidikan dan Penulis Buku
Post a Comment