Hanya Ada Marah di Wajahku
“Kalian harus bisa menjadi
kebanggaan orangtua kalian. Kalau seperti ini sifat kalian, apa yang bisa
dibanggakan.” Teriak Pak Hasan dengan muka merah menahan amarah. “Saat
pelajaran kalian bermain-main, saat shalat berjamaah juga bermain. Bermain itu
ada waktu dan tempatnya sendiri. Paham!” Lanjut beliau masih dengan nada 5
oktaf. “Kalau shalat kalian tertib Pak guru bangga dan tentu orangtua kalian
juga bangga. Tapi apa yang kalian lakukan? Apa?” kata Pak Hasan mulai menurunkan
nada suaranya. Anak-anak hanya tertunduk dalam diam. “Pak Guru tidak membenci
kalian, bahkan Pak Guru sayang sama kalian. Pak Guru hanya tidak suka dengan
sifat kalian.” Semakin rendah Pak Hasan menyampaikan kata-katanya.
Ya, siang yang panas
itu ada tujuh anak laki-laki yang bergurau dan bermain saat shalat dhuhur,
sehingga mereka harus mendapat nasihat dari sang guru. Sebenarnya hal ini sudah
terjadi berkali-kali, tapi baru kali ini sang guru begitu marah sampai dengan
nada suara tinggi.
Gelisah anak-anak
yang seharusnya jam dhuhur mereka pulang mulai tampak, dan hal ini tidak
dihiraukan oleh Pak Hasan, beliau memang sengaja membuat terlambat mereka
pulang. Agar menjadi pengalaman bagi mereka.
Ya inilah
pernak-pernik pendidikan di sekolah, seorang guru yang dituntut oleh pemerintah
untuk mecerdaskan anak bangsa, seorang guru yang dituntut oleh orangtua untuk
membuat pandai dan menshalihkan putra-putrinya, seorang guru yang dituntut oleh
sekolahnya sendiri agar anak didiknya berprestasi sehingga mengangkat nama baik
sekolahnya. Jadi guru memang harus bisa mengendalikan emosinya sendiri, tapi
bukan berarti membiarkan anak didiknya berbuat semaunya. Adakalanya memang
diperlukan teguran keras, teguran sedang, dan teguran ringan kepada anak didik
yang memerlukannya.
Guru juga manusia.
Tentu beliau-beliau mempunyai keluarga yang menjadi tanggungannya. Nah emosi
dalam rumah tangga, mungkin saat marah dengan suami atau istri atau juga
orangtuanya, bagi guru tidak boleh tidak dibawa ke dalam ruang kelas. Jika di bawa
ke kelas, akibatnya bisa fatal. Kesalahan sedikit seorang murid bisa tampak
besar di mata sang guru. Ya, sekali lagi guru dituntut untuk bisa mengatur
ritme emosinya. Sehingga kalaupun diperlukan marah, itu hanya marah wajahnya
saja, tidak sampai marah ke dalam hati apalagi terus menimbulkan dendam
sehingga mengecap anak didiknya menjadi jelek. Setelah masalahnya usai, guru
harus kembali berwajah ceria kepada anak didiknya.
Sebuah pekerjaan
berat memang. Disinilah seninya menjadi guru, para guru harus pandai membawa
suasana hati. Semangatnya bukan terlihat saat tanggal muda saja, tapi harus
pada setiap tanggal, dari muda sampai tua.
Marahnya guru kepada
anak didik tentu bukan karena sang guru benci kepadanya. Itu adalah wujud
sayang seorang guru kepada anak-anaknya di sekolah. Bagaimana tidak sayang,
seandainya anak didik yang berbuat salah tetap dibiarkan, walau sang guru
sangat paham akan kesalahannya, maka yang terjadi adalah si murid merasa
dibenarkan akan perbuatan salahnya dan tentu dia akan kembali mengulangi
perbuatannya karena merasa dibenarkan.
Tapi lagi-lagi sang
guru juga harus pandai-pandai mengkomunikasikan kepada orangtua, alih-alih mau
memberi sayang lebih kepada anak didiknya dengan ‘memberikan marah’, malah
orangtua salah pengertian. Apalagi jika si anak pandai membuat alur cerita
bagaimana dia diberi marah oleh sang guru. Sang guru harus mengkomunikasikan
terlebih dahulu kepada orangtua, mungkin bisa melalui telepon atau bagusnya
ketemu langsung, bagaimana sebenarnya yang terjadi. Jangan sampai marahnya guru
kepada anak didik menjadi pemicu buruknya hubungan antara guru dan orangtua
atau bahkan orangtua dengan sekolah. Dan sebagai orangtua tentunya lebih
bijaksana jika meminta penjelasan kepada guru terlebih dahulu sebelum memberi komentar.
Baiknya dengarkan cerita anak, tanpa perlu memberi komentar buruk kepada
gurunya anak-anak, apalagi sampai menghina guru anak-anak di depan mereka.
Semoga tulisan ini membawa manfaat bagi semua. Kebenaran hanya milik Allah ‘azza wa jalla. ||
Mahmud Thorif,
tinggal di Sleman Yogyakarta
foto wrlr.blogspot.com
Post a Comment