Jika Tidak Punya Malu, Berbuatlah Sesukamu
Menjelang jam 7 malam,
sambil menunggu kepulangan anak saya yang bungsu, saya
melihat tayangan di salah satu stasiun televisi yang kebetulan sedang menyiarkan
sebuah proses peradilan seorang mantan pejabat, tersangka dugaan korupsi di
salah satu instansi pemerintah. Hal yang menarik
untuk didiskusikan bukanlah kasus korupsinya karena sudah terlalu sering, namun
wajah/ekspresi tersangka ketika berjalan dikawal petugas menuju mobil tahanan. Di
wajahnya tidak kelihatan sama sekali rasa malu, rasa penyesalan, apalagi rasa
berdosa, tetapi justru yang terlihat adalah senyuman.
Apakah tersangka merasa bangga karena telah menjadi
orang yang kaya-raya, meskipun hasil korupsi? Ataukah senyuman untuk
memperlihatkan sebuah kepuasan dan kemenangan karena
hukuman yang diputuskan oleh hakim jauh lebih ringan dibanding dengan melimpahnya
harta yang diperoleh dari korupsi? Atau
karena merasa bangga bahwa, dia akan bisa meninggalkan harta kekayaan yang
kalau dipakai untuk menghidupi keluarganya bisa sampai tujuh turunan?
Ini barulah sebuah contoh lunturnya rasa malu, contoh-contoh yang
lain masih banyak sekali ditemui di masyarakat.
Aib yang menyebabkan rasa malu, yang dulu sangat
ditakuti oleh masyarakat, sekarang perlahan telah bergeser. Seakan-akan masyarakat
sudah melupakan apa itu aib, karena sudah terbiasanya orang melakukan. Bahkan, mungkin
masyarakat sudah tidak mampu lagi membedakan tindakan mana yang akan
menimbulkan aib, dan mana yang tidak. Kalau saya bandingkan dengan perilaku
masyarakat pada tahun 1970-an, sangat jauh berbeda. Ketika itu, kalau
ada seseorang yang dinyatakan bersalah karena telah melakukan sebuah tindakan
kriminal atau sebuah pelanggaran, maka dia akan merasa malu sekali, seakan-akan
semua orang berusaha mencemooh dan menjauhinya. Seluruh anggota keluarganya akan
merasa malu apabila salah satu anggotanya telah mendapat sebuah hukuman
kurungan. Sekarang hal itu sudah tidak kita
temukan lagi, bahkan seseorang penghuni Lembaga Pemasyarakatan dengan enaknya
memesan fasilitas kamar seperti hotel yang dilengkapi dengan AC dan para
pembesuknya sudah tidak perlu sembunyi-sembunyi, kalau perlu justru mengundang
stasiun televisi.
Hilangnya rasa malu ini tidak hanya terjadi pada
orang Indonesia yang tinggal di tanah-air, tetapi juga terjadi pada mereka yang
tinggal di negara lain. Ketika kami tinggal di salah satu
negara maju secara teknologi telah melihat sendiri, bagaimana orang-orang
Indonesia yang di sana dengan mudah meniru perilaku masyarakat setempat, tidak
hanya anak mudanya. Yang ditiru bukan sesuatu hal yang positif,
seperti kedisiplinan yang tinggi, kerja keras, atau komitmen yang tinggi. Namun
yang ditiru justru hal-hal yang mestinya harus dihindari, seperti berpakaian
seenaknya, pergaulan bebas, mengabaikan
sopan-santun terhadap orang yang lebih tua.
Sebetulnya dengan rasa malu ini, kita akan tercegah
dari perbuatan yang tidak pantas, dari tindakan seenaknya sendiri. Rasa malu adalah akar dari segala perbuatan baik, seperti
yang telah disampaikan oleh Nabi Shalallahu’alaihi
wassallam, dari Ibnu
Mas`ud, ”Di antara nasehat
yang didapat orang-orang dari sabda Nabi-Nabi terdahulu ialah: Jika engkau
tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” (Shahih
Al-Bukhari).
Hilangnya rasa malu dari masyarakat seperti saat
ini, telah mengakibatkan banyaknya pelanggaran hukum. Kita harus memutus
generasi tanpa malu ini dengan mendidik anak kita sejak kecil secara sungguh-sungguh
agar tertanamkan rasa malu (bukan rasa rendah diri) pada mereka. Rasa malu yang
perlu dimunculkan pada anak adalah ketika misalnya, anak melakukan suatu
pelanggaran, melakukan suatu hal yang tidak sopan, melakukan kebohongan sekecil
apapun. Jangan dibiarkan begitu saja karena bisa membuat anak akan merasa
biasa, lalu merasa nyaman bahkan merasa bangga ketika melakukan kesalahan. Ciptakan
atau munculkan perasaan tidak nyaman pada anak sehingga diharapkan anak
tersebut tidak akan mengulanginya, insyaAllah.||
Prof. Dr. Ir. Indarto, D.E.A. Pimpinan Umum Majalah Fahma
Post a Comment