Membentuk Konsistensi Anak
Membentuk konsistensi anak memang tidak
mudah. Kondisi ini bisa semakin parah ketika orangtua juga tidak konsisten
menerapkan peraturan yang mereka buat. Ketidakkonsistenan tersebut bisa terjadi
karena banyak hal, misalnya ketika orangtua lelah atau stres. Ketimbang semakin
capek karena harus menghadapi anak yang marah saat tidak menurut, orangtua
memilih membiarkannya melanggar aturan yang sebenarnya sudah disepakati
bersama. Sal Severe, penulis buku ‘How to Behave So Your Child Will Too’
mengatakan bahwa sikap tidak konsisten dapat membuat buah hati merasa
ragu-ragu, tidak aman, dan bingung. Hal tersebut juga didukung oleh pernyataan
dari Aviva Pflock, penulis buku parenting yang menyatakan bahwa konsistensi
sebenarnya membuat anak-anak merasa nyaman.
Bagi orangtua maupun pendidik, salah
satu tantangan dalam memfasilitasi proses belajar anak adalah membangun
motivasi internal dan konsistensi dalam belajar. Pada dasarnya anak-anak memang
masih dalam proses pertumbuhan minat. Hal itu menyebabkan mereka cenderung
memiliki rentang minat dan konsentrasi yang pendek. Pada suatu ketika, anak
mungkin akan sangat tertarik pada suatu aktivitas, namun di waktu yang lain
boleh jadi akan tertarik pada aktivitas yang lain.
Minat dan motif pribadi adalah sebuah
dorongan yang sangat luar biasa untuk proses belajar yang menyenangkan dan
efektif. Ketika anak tumbuh semakin besar, minat dan ekspresi ini perlu
ditambahkan dengan konsistensi. Tujuan utama mendidik konsistensi adalah
melatih anak untuk bertanggungjawab pada proses yang dilakukannya. Dalam
konteks belajar, konsistensi adalah bagian dari proses pendalaman, sehingga
anak tak hanya belajar hal-hal yang ada di permukaan, tapi merasa sudah
bisa/menguasai.
Karena itu, pendidikan konsistensi dan
tanggungjawab bisa diawali dengan dialog yang membentuk kesepakatan-kesepakatan
antara orangtua dan anak. Kesepakatan itu juga meliputi konsekuensi, baik
positif maupun negatif. Karena anak
terlibat, maka kesepakatan dapat menjadi pintu masuk bagi anak untuk belajar
tentang konsistensi dengan menepati kesepakatan yang sudah dibuat.
Pembelajaran konsistensi juga bisa
dimulai dari hal-hal sederhana, seperti dengan mengajarkan anak untuk
menyelesaikan segala sesuatu hingga tuntas. Anak belajar untuk tak berhenti di
tengah jalan, tetapi bertahan hingga akhir.
Belajar dalam waktu yang pendek, tetapi
berulang adalah salah satu kunci menjaga konsistensi. Membaca satu buku kecil
atau satu bab setiap hari, tetapi dilakukan setiap hari akan memberikan panduan
kepada anak untuk belajar konsistensi. Demikian pun, belajar sebuah hal selama
setengah jam yang dilakukan secara kontinyu lebih baik daripada menyelesaikan
banyak hal dalam satu waktu, tetapi kemudian sama sekali tak menyentuhnya dalam
jangka waktu yang lama. Bukankah Allah Ta’ala
pun menyukai amalan yang sedikit namun dilakukan secara istikomah daripada
amalan yang seabreg namun hanya dilakukan sekali saja?
Selain itu, jadwal aktivitas yang
disepakati bersama anak juga dapat digunakan melatih anak untuk konsisten.
Jadwal ditetapkan secara periodik, misalnya harian atau mingguan; dan anak
belajar untuk mentaati jadwal yang sudah dibuat. Perubahan tak boleh dilakukan
di tengah jadwal, tetapi baru bisa dilakukan setelah selesai sebuah periode
tertentu.
Tentu saja hal yang tidak bisa
dilepaskan adalah peran orangtua untuk membimbing anak sampai anak dapat
membangun motif internalnya. Pendampingan itu sangat bertahap dan perlu
dilakukan secara kontinyu. Orangtua tak boleh puas melihat anak yang
bersemangat belajar dalam satu minggu pertama dan kemudian melepaskannya begitu
saja. Proses itu masih perlu terus dibangun dengan semangat, pembimbingan,
dialog, dan interaksi yang terus-menerus bersama anak.||
Rahmat Rohadi, Pendidik, tinggal di Bantul
Post a Comment